الْحَمْدُ
لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَبَعْدُ
Asslamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
‘an ummil mukminiina
ummi ‘abdillah ‘aaisyah radhiyallahu ‘anha qoolat : qoola Rasulullah sholla
allahu ‘alaihi wa sallam : man ahdatsa fii amrinaa hadhaa maa laisa minhu
fahuwa raaddun. (rowahu al bukhori wa muslim). Wa fii riwaayatin limuslimin : man ‘amila ‘amalan
laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raaddun.
Artinya : Ummul Mukminin, Ummu Abdillah ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah
Saw. bersabda, ”Barang siapa membuat-buat dalam urusan (agama) kami ini amalan
yang bukan bagian darinya, ia tertolak.”
(Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barangsiapa mengerjakan suatu amal
yang bukan berdasar perintah kami, ia tertolak.”
Jadi anda tidak perlu mengikuti
apalah itu namanya, sholat yang menggunakan terjemah, masak semisal demilian,
“saya niat sholat magrib tiga rokaat fardlu karena Allah, Allah Maha Besar.”
Nabi tidaklah pernah mengajarkan demikian, Nabi hanya bersabda: Shollu
kamaa roaitumuuni usholli. Yang artinya: sholatlah kalian seperti apa aku
melaksanakannya. Nabi mencontohkan bagaimana sholat itu sekaligus dengan bacaannya, jadi
janganlah kita mengubah atau menciptakan sendiri gerakan atau bacaan di dalam
sholat, ya mungkin ada juga ulama yang berpendapat diperbolehkan berdo’a
disujud yang terahir, tepi pendapat demikian adalah lemah sanadnya.
Jadi sepintar apapun seseorang,
tidak boleh mengubah apa yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya, kecuali
dalam hal keseharian, oh iya saya jadi teringat, ada suatu golongan yang suka
berdakwah dengan mengembara, hehehehe….. mengikuti sunnah rasul katanya, mereka
meninggalkan keluarga, anak dan istri untuk berdakwah, dengan membawa kompor,
alat makan dan sebagainya.
Pada suatu hari bertemu dengan
seorang Kyai di suatu daerah di Jawa Timur, tetapi dia (sang pengembara) tidak
tahu kalau yang diceramahi adalah seorang kyai, dengan panjang lebar dia
mengutarakan tujuan dia mengembara, bla bla bla bla yang intinya mengikuti
sunnah rasul katanya, dan Kyai tersebut bertanya kepadanya,” apa rasulullah makan menggunakan sendok, dan
memasak menggunakan kompor?,” sang pengembara kebingungan menjawab, dan
kyai tersebut menambahkan lagi,” rasulullah pergi hanya untuk berdakwah,
berperang, dengan satu tujuan, lillahi ta’ala. Beliau tidak menerlantarkan anak
dan istrinya, beliau makan dengan tiga jari, karena yang beliau makan adalah
kurma dan roti, masak orang makan nasi pakai tiga jari, sampean saja makan
memakai sendok, katanya mengikuti sunnah rasul?, rasulullah tidak naik mobil, tidak
memakai hp, dan panjang lah pokoknya. Jadi kalau sampaian mau mengikuti sunnah
rasul, cari tahu bagaimana rasulullah tidur, cara istinjaknya, makan saat lapar
dan berhenti sebelum kenyang dan seterusnya… .”
Dan setelah itu sang pengembara
dan teman-tennya tidak lagi pernah mendatangi daerah tersebut, nah intinya dari
cerita di atas, yakni kita jangan mudah mengaku menjalankan sunnah rasul,
sedikit-sedikit sunnah rasul, sunnah rasul, akan tetapi bertujuan materi, yang
sebaiknya kita ucapkan adalah ittiba’ birrosul (mengikuti rosul), missal makan
dan minum dengan memakai tangan kanan dan tidak lupa membaca do’a, berjihad di
jalan Allah, tentunya dengan tata dan caranya
yang telah dicontohkan oleh Rasullullah,
meski tidak dengan cara yang sama persis, karena sudah berbeda zaman dan
tempatnya.
Jadi, anda tidak perlu ragu lagi
untuk melaksanakan apa yang membawa terhadap sesuatu yang baik dan benar disisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasulnya, apalagi hal tersebut sudah menjadi adat dilingkungan tempat anda
tinggal, yang tidak boleh adalah melestarikan adat yang salah, semisal membawa
makanan dan sesajen di bawah pohon besar, makam keramat dan sebagainya, karena
itu sama halnya dengan kita mencari berkah terhadap sesuatu tersebut. Sudah
jelas bahwasanya tidak ada yang dapat memberi berkah dan menimbulkan madhorot
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan
kemusyrikan, na’udhu billahi min dzalik.
Yang intinya kita dalam
melaksanakan segala jenis ibadah, memang harus ada tendensinya, akan tetapi
tidaklah harus berupa dalil dalam Al Qur an atau Al – Hadits untuk menguatkan
terhadap ibadah apa yang akan kita kerjakan, bersholawat itu ibadah, tetapi
tidak ada hadits atau dalil yang menyebutkan berapa jumlah yang harus kita baca
saat kita membaca sholawat. Bergaul dengan istri itu ibadah, tetapi tidak ada
hadits atau dalil yang menyebutkan agar berapa kali dalam sehari, satu minggu,
atau berapa mungkin, untuk kita melakukannya. Jadi yang menjadi tolok ukur kita
dalam beribadah adalah niatan yang baik dan semata karena Allah itulah yang
terbaik, dan tentunya dengan cara yang baik dan benar pula ikhwani, tidak usah
memperdulikan orang yang gembar-gembor ini bid’ah ituuu bid’ah, memangnya ada
apa yang sekarang ini 100% tidak bid’ah, tinggal kita menyikapinya bagaimana,
asal bid’ah tersebut hasanah dan tidak merugikan orang lain, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan
ganjaran kebaikan kok kepada kita.
“Innamal a’malu binniyah” segala sesuatu itu tergantung niatnya. Marilah
kita dasari akan setiap suatu perkara yang akan kita kerjakan dengan niyat yang
baik guna mandapat ridho Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Kita kuatkan pondasi keimanan dan landasan aqidah dengan benar
dimulai dari pribadi dan sanak family sejak dini. Kiranya sampai disini yang
dapat saya sampaikan, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan, karena
kesempurnaan dan kebaikan hanya milik Allah Subhanahu
wa Ta’ala semata. Ihdinash shiraathal mustaqiim, astaghfirullaha min qoulin
bilaa ‘amalin, ilalliqo’ ma’as salamah.
Wasslamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar