Minggu, 13 November 2011

Mengutamakan ibadah kok Dilarang ?

Assalamu'alaikum wr.wb
Mengutamakan orang lain dalam beribadah (ibadah mahdhah) itu dilarang ! Sehingga kita harus mengedepankan diri kita sendiri, bukan mempersilahkan orang lain terlebih dahulu. Sebagai mana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW :
“al iitsaaru fil ’ibaadati mamnu’un”
Mengutamakan orang lain dalam beribadah itu dilarang
Ibadah mahdhah
Penegertian dari ibadah mahdhah ialah penghambaan murni yang hanya merupakan hubungan antara hamba yang langsung dengan Allah SWT. Ibadah ini hanya dapat diri pribadi yang dapat melaksanakannya, yakni antara lain 5 (lima) rukun yang harus diketahui seorang muslim:
Yang pertama yakni syahadat, seorang muslim tidak dapat mewakilkan atau diwakilkan dalam bersyahadat tentunya, apalagi bagi seorang yang baru masuk Islam (muallaf) ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, karena syahadat merupakan rukun dari Islam itu sendiri.
Yang ke dua ialah sholat, apalagi dengan ibadah sholat lima waktu yang mana itu adalah dihukumi wajib. Sehingga tidak dapat ditinggalkan selama manusia itu masih bisa untuk bernapas atau masih hidup, kecuali dalam keadaan lupa yang tidak disengaja, dalam keadaan tidak sadar atau lupa ingatan entah itu gila, mabuk, pingsan. Namun harus tetap mengqada’ shalatnya ketika sudah sadar atau sudah kembali ingatannya (waras).
Yang ke tiga Zakat, nah!, untuk yang satu ini dapat diwakilkan dalam pelaksanaan pemberian zakat atau niatannya (pengucapan niatnya), akan tetapi setiap muslim yang hidup di dunia harus mengeluarkan zakat.
Yang ke empat puasa, ibadah yang satu ini juga tidak dapat diwakilkan atau mewakilkan, karena puasa Romadlon juga merupakan ibadah yang wajib hukumnya bagi seorang muslim, namun ada saatnya seorang muslim juga boleh untuk tidak berpuasa Romadlon, yakni pada saat seorang muslim tersebut sakit, yang mana jika ia memaksakan berpuasa dia akan bertambah parah penyakitnya, ia diperbolehkan tidak berpuasa akan tetapi harus mengqada’ puasanya ketika ia sudah sembuh, adapun orang yang sudah lanjut usia atau diperkirakan lama sembuhnya maka harus membayar kifarat (denda) atas puasanya yang tidak dapat ia kerjakan.
Yang ke lima haji, ada pengecualian untuk rukun Islam yang ke lima ini dalam pelaksanaannya hanya bagi yang mampu, dan juga dapat diwakilkan akan tetapi sama dengan rukun yang ke tiga, yakni diniatkan bagi yang diwakili karena berhalangan untuk dapat berangkat dan melaksanakannya sendiri.
Selain yang telah disebutkan di atas masih ada lagi yang dilarang bagi seorang muslim untuk mendahulukan orang lain, seperti halnya dengan menikah, kalau orang jawa atau yang berpedoman tidak baik (ora elok) mendahului kakak kalau menikah, padahal kalau dalam Islam tidak seperti itu, kalau memang sudah waktunya untuk menikah tidah usah terlalu memikirkan adat seperti itu, karena Allah SWT memang telah menetapkan demikian, meskipun yang muda lebih dulu kalau waktunya ya menikah saja, masak harus nunggu sampai yang lebih tua menikah, iya kalau satu dua minggu, kalau sampai satu tahun bagaimana hayo ?
Ada yang lain lagi, seperti mempersilahkan orang yang baru datang untuk menempati shof shalat dibagian depan, mempersilahkan orang lain untuk menempati tempat depan dalam acara atau kegiatan thalabul ‘ilmi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan ibadah mahdhah itu sendiri yang mana ibadah mahdhah berumuskan (Karena Allah dan Sesuai Syariat ).
Ibadah Ghairu Mahdhah
Yakni ibadah yang tidak hanya semata berhubungan langsung dengan Allah SWT, yang dapat juga kita artikan hubungan antar sesama manusia atau makhluk hidup lainnya yang dilandasi atas (Berbuat Baik dan Karena Allah). • Keberadaan dari ibadah tersebut didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang, maka ibadah bentuk ini boleh dikerjakan dan dilestarikan .
• Tata cara dan pelaksanaannya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
• Bersifat Masuk Akal ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika seorang hamba itu sendiri. Sehingga jika menurut akal sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
• Azas dari ibadah tersebut adalah Manfaat Kita pandang dari segi kemanfaatan, selama itu bermanfaat bagi yang melaksanakan dan bagi orang disekitar, maka selama itu pula boleh untuk tetap dikerjakan. Tidak melanggar aturan syar'i dan membuat orang lain rugi (madharat terhadap orang lain).
Alhamdulillahi Rabbil 'alamin, sekian artikel yang dapat saya sampaikan kurang itu semata dari saya pribadi, kebenaran dan kebaikan hanya dari Allah semata. Ihdinash shiratal mustaqim
Wassalamu'alaikum wr.wb

Sabtu, 05 November 2011

"ROHNUN" HUKUM PERGADAIAN DALAM FIQIH ISLAM

حكم الرهن في الفقه الإسلامي

Assalamu'alaikum wr.wb

Kali ini pembahasan berkenaan tentang pergadaian (Ar-Rahn) dalam fiqih Islam.


A. Defenisi Ar-Rahn (Gadai):


Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng), dan bisa juga berarti al-ihtibas wa al-luzum (tertahan dan keharusan).

Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.

Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya sekitar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) sebagai jaminan hutangnya. Maka di dalam gambaran ini, hutangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian nilai barang yang digadaikannya itu bila dijual.

Contoh lain, bila ada seseorang yang berhutang kepada anda sebesar RP.5.000.000,- (lima juta rupiah). Lalu dia memberikan kepada anda sebuah barang yang nilainya sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) sebagai jaminan hutangnya. Di dalam gambaran kedua ini, sebagian hutang dapat dilunasi dengan nilai barang tersebut. Akan tetapi orang yang berhutang masih menanggung hutang dari sisa yang masih belum dibayarnya.

Nah!, dalam dua gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar ataupun lebih kecil dari jumlah hutang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.



B. Landasan Disyariatkannya Gadai:


Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:

a. Al-Qur’an:

:Firman Allah

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)

menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berhutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.

b. Al-Hadits:

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).


عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ

Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).



c. Ijma’(kesepakatan)para ulama:


Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim. Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.



C. Unsur dan Rukun Gadai (Ar-Rahn):


Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:

1. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.

2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.

3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.

4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.


Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga, yaitu:

• Shighat (ijab dan qabul).

• Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin)

• Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.


Syarat gadai (ar-rahn):

Disyaratkan dalam muamalah gadai hal-hal berikut:

Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).

Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:

1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.

2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.


D. Kapan Serah Terima Ar-Rahn (Barang Gadai) Dianggap Sah?

Barang gadaian adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti bangunan/rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkan isi bangunan/rumah tersebut untuk pemberi hutang tanpa ada penghalangnya.

Dan ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini ada perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:

Ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:

1. Barang yang Dapat Digadaikan.

Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai jual, agar dapat menjadi jaminan bagi Ar-Rahin. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pergadaian, sehingga pergadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.

Barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang menggadaikan seekor anjing, babi, dan yang dilahirkan dari keduanya (karena hasil persilangan), maka pegadaian ini tidak sah hukumnya, karena kesemuanya tidak halal untuk diperjual-belikan.

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”

2. Barang Gadai Adalah Amanah.

Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.

Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.

3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.

Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).

Dan sabda Nabi:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).

4. Memanfaatkan Barang Gadai.

Pihak pemberi hutang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi hutang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.

Dengan demikian, pemberi hutang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba. Demikianlah hukum asal pegadaian.

Namun ada kalanya keadaan tertentu yang membolehkan pemberi hutang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang gadaian tersebut. Pemanfaatan barang gadai tersebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no.3962, Fathul Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439 no.3509, Tirmidzi II/362 no.1272 dan Ibnu Majah II/816 no.2440).

Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.

5. Biaya Perawatan Barang Gadai.

Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:

- Jika dibiayai oleh penggadai/pemiliknya sendiri, maka pemilik uang tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.

- Jika dibiayai oleh pemilik uang, maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.

Maksud barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang(Al-Murtahin), maka dia bisa memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah pemanfaatan barang gadai.

6. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.

Apabila pelunasan hutang sudah jatuh tempo, maka Ar-Rahin berkewajiban melunasi hutangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan Al-Murtahin. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila Ar-Rahin tidak mampu melunasi hutangnya, maka Al-Murtahin berhak menjual barang gadaian itu untuk menggantikan pelunasan atas hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisa dari barang yang dijual, maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (Ar-Rahin). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikan barangnya tersebut masih menanggung atas sisa hutangnya.

Demikian atas penjelasan singkat seputar hukum mu'amalah gadai dalam fiqih Islam. Dari penjelasan di atas, Nampak jelas bagi kita atas kesempurnaan, keindahan dan keadilan Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.kurang lebihnya mohon maaf. Ihdinash shiratal mustqim

Wassalamu'alaikum wr.wb