Senin, 20 September 2010

Hadits Tqalain (dua bekal berat)

Hadits Tqalain (dua bekal berat):
oleh Najiv Alaska pada 04 September 2010

Kita hanya sering mendengar dimasjid-masjid atau tempat lainnya tentang hadits Rasulallah saw. agar kita memegang dua bekal yaitu: ‘Kitabullah wa sunnati’ artinya (berpegang) Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. atau hadits lainnya yaitu: ‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu’. Tetapi belum pernah atau jarang sekali di kumandangkan dan dikenal oleh kaum muslimin hadits Nabi saw. agar kita memegang dua bekal: ‘Kitabullah dan Itrah-ku (keturunan-ku) Ahlu baitku’.



Padahal hadits ‘Kitabullah wa Sunnati’ diatas ini ,menurut ulama, sanadnya masih diperselisihkan oleh para ulama, begitu juga bukan termasuk hadits tsaqalain. Kami akan kutip masalah ini dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. dari halaman 269, oleh Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf, Jordania yang diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qasim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah, Bandung, sebagai berikut:



[ Syeikh Saggaf pernah ditanya mengenai hadits, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah berpegang teguh kepada keduanya; Kitabullah dan …’. Apakah hadits itu tersebut shohih jika ditambah dengan kata-kata (pada akhir hadits) ’ ‘ithraty wa ahli baitii ’ (keluargaku yaitu ahli baitku) . Atau mungkin yang benar, ‘wa sunnati ‘ (dan sunnahku)? Orang ini berharap agar dapat menjelaskan sanad hadits tersebut.



Syeikh Sagqaf menjawab: Sebenarnya sanad hadits yang tsabit dan shohih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity. Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi matan dan sanad-nya. Berikut ini sebagian/garis besar penjelasan mengenai sanad dua hadits.



Hadits yang shohih diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya ( IV : 1873 nr.2408 cet.Abdulbaqy) dari Zaid bin Arqam ra yang katanya: “Suatu hari Rasulallah saw. pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah disuatu tempat (kebun) kosong diantara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu menasihati dan mengingatkan (ummatnya) dengan sabdanya: ‘Amma ba’du (adapun sesudah itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku (yang akan memanggilku ke hadhrat-Nya), maka aku pun (pasti) mengabulkannya. Dan aku (akan ) meninggalkan pada kalian dua pusaka. Pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambil lah kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh. Beliau saw. memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau saw. bersabda: ‘Dan (yang kedua)ahli baitku (keluargaku)“.



Itulah lafadh atau redaksi dari Imam Muslim, dan diantara perawi lainnya me- riwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah; Al-Darimy dalam Sunan-nya (II:431-432) dengan isnad shohih dan ada lagi perawi lainnya yang me- riwayatkan seperti redaksi Imam Muslim itu.



Sedangkan dalam riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata Wa ‘ithraty ahli-baity (Dan keturunanku yaitu ahli baitku [keluarga rumahku] ). Dalam Sunan Turmudzi (V:663 nr. 3788) menyebutkan: “Rasulallah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang (erat-erat) pasti kalian tidak akan sesat sesudah aku (wafat). Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia merupakan tali yang memanjang dari langit kebumi. Dan keturunanku (yaitu) ahli-baitku. Kedua-duanya (dua pusaka) tidak akan berpisah sehingga kembali/bertemu dengan aku di Haudh (telaga di surga). Perhatikanlah (berhati-hati lah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukan mereka sepeninggalku’ “. Hadits shohih. (silahkan baca halaman selanjutnya mengenai hadits tsaqalain—pen.)



Sedangkan kalimat hadits ‘wa sunnati’ (dan sunnah-ku), Syeikh Saqqaf tidak meragukan ke-maudhu’-annya karena kelemahan sanad- nya, dan factor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya. Berikut ini isnad dan matan hadits tersebut:

Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits (Kitabullah wa sunnah Rasulallah) ini dalam kitabnya Al-Mustadrak (I : 93) dengan isnadnya dari jalan Ibn Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang diantara isinya sebagai berikut: ‘ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad saw.) telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selama- nya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya…..’.

Dalam sanad hadits itu terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (III:127), mengenai biografi Al-Ibn yakni Ibn Abi Uwais dan saya (Al-Mizzi) akan mengutip perkataan orang yang mencelanya, “Berkata Mu’awiyah bin Shalih dari Yahya bin Mu’in, ‘Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dhoif (lemah), dan dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (Mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadits)’ “.



Tetapi menurut Abu Hatim, “Ibn Abu Uwais itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah [dilengahkan/dibiarkan orang (mughaffa)]”.



Imam Nasa’i menilai: “Dia dhoif/lemah, dan dia tidak tsiqah”. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’i; “Imam Nasa’i sangat jelek menilainya sampai kederajat matruk (Ibn Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”.



Menurut komentar Abu Ahmad bin ‘Adi; “Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (yakni) Malik berupa beberapa hadits gharib yang tidak di ikuti oleh seorang pun (dari periwayat lain yakni tidak ada mutaba’ah-nya)”.



Al-Hafidz Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al Bari halaman 391 Dar Al-Ma’rifah mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan; “Atas dasar itu hadits dia tidak dapat dipakai hujjah/dalil selain yang terdapat dalam Ash-Sahih, karena celaan yang dilakukan oleh Imam Nasa’i dan lain-lainnya”.



Al-Hafidz Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq dalam Fath Al-Mulk Al-Ali halaman 15 mengatakan; “Berkata Salamah bin Syabib, saya pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan, ‘Mungkin saya (Ismail bin Abi Uwais) membuat hadits (adha’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka ber selisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka’ “.



Jadi dia Ibn Abi Uwais dituduh suka membuat hadits (maudhu’) dan Ibn Mu’in menilainya sebagai pembohong. Dan haditsnya yang mengandung kalimat ..wa sunnati tidak terdapat dalam salah satu dari Shohihain !!

Adapun mengenai ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, sebagaimana disebutkan dalam kitab anaknya Al-Jarh wa At-Ta’dil (V:92), “Ditulis haditsnya, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah, dan dia tidak kuat”. Dalam sumber yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil tersebut ; ‘Abu Uwais itu tidak tsiqah’.



Menurut Syeikh Saqqaf, sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah disebutkan diatas itu tidak dapat menjadi shohih, kecuali jika ada unta yang dapat masuk ke lubang jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa apa yang mereka bawa dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit/kuat dan shohih. Al-Hakim sendiri telah mengakui ke-dhaif-an hadits tersebut, sehingga dia tidak menshohihkannya dalam Al-Mustadrak tersebut. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tersebut. Kami telah membuktikan bahwa Ibn Abi Uwais dan ayahnya sungguh-sungguh, salah satu diantara keduanya telah mencuri (membuat) hadits yang sedang kita bahas itu. Dan, dengan tegas, Ibn Mu’in menilai bahwa kedua orang tersebut suka mencuri (membuat) hadits, (sehingga haditsnya disebut maudhu’, di buat-buat).



Al-Hakim meriwayatkan (I:93) hadits itu, dia berkata: “Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut dari hadits Abu Hurairah ra., kemudian diriwayatkan dengan sanadnya melalui (jalan) Al-Dhaby: Tsana (telah menghaditskan kepada kami) Shalih bin Musa At-Thalhy dari Abdul ‘Aziz bin Rafi’ dari Abu Sholih dari Abu Hurairah ra secara marfu’ (Rasulallah saw. bersabda): ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah keduanya. Kitbullah dan Sunnah-ku. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya mendatangkan/mengembalikan (bertemu) kepadaku di Haudh’ “.

Menurut saya (pengarang), hadits ini juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Shalih bin Musa At-Thalhy. Berikut ini penilaian para imam pakar hadits dari kalangan kibar al-huffazh (penghafal terkenal) yang mencela Shalih bin Musa Ath-Thalhy sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahdzib Al-Kamal XIII : 96: ‘Berkata Yahya bin Mu’in, Laisa bi-syai’in (riwayat hadits tersebut tidak ada apa-apanya)’. Abu Hatim Ar-Razy berkata : ‘Dhaif Al-Hadits (Hadits itu lemah)’.



Dia sangat mengingkari hadits dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah. Menurut penilaian Imam Nasa’i , haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan lain Imam Nasa’i berkata : ‘Dia itu matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan)‘.



Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Tahdzib At-Tahdzib IV:355 menyebut kan; “Ibn Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari Tsiqat apa yang tidak menyerupai hadits itsbat (yang kuat), sehingga yang men- dengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk ber-hujjah. Abu Nu’aim berkata: ‘Dia itu matruk al-hadits sering meriwayatkan (hadits-hadits) munkar’ “.



Al-Hafidh dalam At-Taqrib juga menghukuminya sebagai rawi matruk /perawi yang harus ditinggalkan (Tarjamah : 2891). Demikian pula Al-Dzahaby dalam Al-Kasyif : 2412 yang menyebutkan bahwa dia wahin (lemah). Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan II:302, hadits Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemungkaran yang dilakukannya.



Al-Hafidh Ibn Abdilbar dalam At-Tamhid XXIV:331 menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits dhaif tersebut: “Dan telah menghadits- kan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Al-Haniny dari Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Awf, dari ayahnya, dari kakeknya (mengenai hadits tersebt) “ .



Terdapat dalam sanad hadits tersebut yaitu Katsir bin Abdullah, Imam Syafi’i berkata: ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu punggung kebohongan’. Sedangkan menurut Abu Dawud; ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu pembohong’.



Ibn Hibban berkata: “Dia (Katsir bin Abdullah) meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (tekts) yang maudhu’ yang tidak halal atau tidak pantes untuk dicantumkan dalam berbagai kitab dan tidak perlu di riwayatkan kecuali untuk ta’ajjub (aneh karena keberaniannya dalam berbohong)



Imam Nasa’i dan Al-Daraquthni, berkata Dia (Katsir bin Abdullah) matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan orang).



Imam Ahmad berkata: ‘Dia itu pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa‘. Demikian pula menurut penilaian Yahya bin Mu’in bahwa ‘Dia (Katsir bin Abdullah) tidak (bukan) apa-apa (tidak berarti) ’.



Imam Malik menyebutkan hadits tersebut dalam Al-Muwathha’ (I : 899 nr.3) tanpa menyebutkan sanad. Tetapi hal ini bukan suatu soal, karena mengenai kelemahannya hadits itu sangat jelas.



Selanjutnya Syeikh Saqgaf berkata, bahwa Al-Hafidh Ibn Hajar –rahima hullah ta’ala– dalam At-Tagrib menilainya (hadits itu) sebagai dhoif/lemah saja, kemudian dia (Ibn Hajar) berkata: ‘Sungguh berlebihan jika ada orang yang menuduhnya sebagai pembohong’. Menurut saya (Syeikh Saqgaf), hal itu sama sekali tidak salah dan tidak berlebihan. Karena, seperti terlihat dari penilaian para imam dan pakar hadits, dia memang pendusta. Bukankah Al-Dzahaby juga telah menilai dia (dalam Al-Kasyif) sebagai wahin (lemah). Dan memang dia demikian, haditsnya maudhu’ (dibuat-buat), hadits itu tidak cocok untuk di ikuti (mutaba’ah) dan tidak perlu dicarikan syahid (saksi penguatnya). Bahkan harus dijauhi. Allah lah yang memberi taufik kepada kita semua.



Begitu juga menurut Mutanaqidh penentang atau sang kontroversial dalam Dha’ifatih (IV:361), hadits shohih dan tsabit yang menyebutkan ‘Wa ‘itrati ahli baiti’ (dan keturunanku yaitu ahli baitku), menjadi syahid (saksi) atas (kebenaran dan keshohihan) hadits yang mengandung wa sunnati (dan sunnahku). Yang demikian itu menurut Syeikh Saqqaf termasuk layak untuk ditertawakan. Hanya Allah yang memberi hidayah kepada kita semua.



Selanjutnya Syeikh Saqqaf mengatakan, bahwa sabda Rasulallah saw. ‘Itrati Ahli Baiti’ (Keturunankau [yaitu] ahli baitku atau keluargaku), maksudnya adalah isteri-isterinya, keturunannya (dzurriyyahnya) dan yang paling ter kemuka adalah Siti Fathimah, Sayyidina ‘Ali semoga Allah memuliakannya di surga , Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain a.s. dan semoga mereka mendapat keridhaan-Nya. Dalilnya ialah (baca yang telah kami kemukakan diatas—pen.).



Dengan penjelasan yang telah dikemukakan, jelaslah bahwa hadits, Kitabullah wa ‘Itrati (Kitabullah Alqur’an dan keturunanku) adalah hadits shohih dan tsabit yang terdapat dalam Shohih Muslim dan lain-lainnya. Dan kalimat hadits Kitabullah wa Sunnati (Kitab Allah dan Sunnahku) itu bathil dari sisi sanad dan tidak shohih. Maka, saya (Syeikh Saqqaf) menganjurkan kepada para khatib, imam dan muballigh untuk segera meninggalkan pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw..

Dan, hendaklah mereka ini juga tidak segan-segan untuk mengungkapkan hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. yang terdapat dalam Shohih Muslim yang antara lain menyebutkan ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa ahli baiti’. Kami pun berpesan kepada para penuntut ilmu (santri dan pelajar pada umumnya) untuk mempelajari ilmu hadits. Dan hendaklah mereka juga mau menyediakan waktu untuk mengenali hadits yang shohih dan dho’if sekaligus. Allah swt. menfirmankan yang hak dan benar. Dia menunjuki manusia dan makhluk-Nya kejalan yang lurus dan benar. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. ] Demikianlah jawaban dan keterangan Syeikh Saqqaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar