oleh Najiv Alaska pada 24 September 2010
DENGAN NAMA ALLOH MAHA PENGASIH LAGI PENYAYANG
TERJEMAH NADHOM SU’BUL IMAN
1. Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikan iman seseorang, ia mempunyai cabang-cabang yang telah disempurnakan.
Ket. : Puji ada empat; A) Puji qodim alal Qodim. B) Puji Qodim alal hadits. C) Puji Hadits alal hadits. D) Puji Hadits alal qodim
2. Risalah ini memuat beberapa bait (nadhom) dari karangan Syaikh zainudin Al Kusyini, ialah seorang menguraikannya setelah membaca sholawat dan salam.
Ket. : Yang Zainudin bin Ali bin Ahmad Almalibari (ya’ni AL Kusyini). Lahir tahun 872 H.
3. Kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya sersta shohabatnya, selama masih berputar matahari dan bintang-bintang di langit.
Ket. : Yang dijelaskan oleh Imam Nawawi Banten : Amal perbuatan seseorang yang menunjukkan kuatnya iman atau sempurna imannya, yang mengerjakan cabang iman sebanyak 77 cabang.
Jadi pasang surut iman seseorang tergantung dari cabang-cabang iman tujuh puluh tujuh.
4. Iman kita ada 77 cabang, barang siapa yang dapat mengerjakannya, dialah ahli keutaman yang sempurna.
5. Berimanlah engkau kepada Alloh (Tuhanmu), kepada Malaikat-malaikat, kepada kitab-kitab, kepada Nabi-nabi dan kepada hari terakhir ialah dimana hari semesta alam rusak berantakan telah berakhir (itulah usianya dunia).
وَالْبَعْثِ وَالْقَدَرِالْجَلِيْلِ وَجْمَعِنَا
فِى مَحْشَرٍفِيْهِ الْخَلاَ ئِقُ تَحْشَمُ
وَبِأَنَّ مَرْجِعَ مُسْلِمٍ لِجَنَانِهِ
وَبِأَنَّ مَرْجِعَ كَافِرٍلِجَهَنَّمُ
وَاحْبُبْ اِلُهَكَ خَفْ اِلَيْمِ عَقَابِهِ
وَلِرَحْمَةِ ارْجُ تَوَ كَّلَنْ يَا مُسْلِمُ
وَاحْبُبْ نَبِيَّكَ ثُمَّ عَظِّمْ قَدْرَهُ
وَابْخَلْ بِدْ يْنِكَ مَايُرى بِكَ مَأْتمُ
وَاطْلُبُ لِعِلْمٍ ثُمَّ لَقِنْهُ الْوَرى
عَظِّمْ كَلاَمَ الرَّبِّ وَاطْهُرْ تُعْصَمُ<
6. Dan beriman kepada hari kebangkitan, kepada taqdir Alloh Yang Maha Agung, dan kepada dikumpulkan kami dipadang mahsyar, ditempat itu para makhluq pucat (merasa menyesal)
Ket. : Kita beriman pula hal-hal yang ada pada hari qiyamat, antara lain : Adanya Telaga, hari perhitungan amal-amal kita diwaktu didunia, syafaat Nabi saw. Shirotul mustaqim.
7. Berimanlah bahwa tempat kembali bagi orang yang Islam dalam surganya. Dan tempat kembali bagi orang kafir pada nerakanya (Jahanam)
Ket. : Calon penghuni surga ialah orang-orang yang taqwa, baik itu para Nabi / Rosul, ulamaus sholih, wali-wali Alloh, para syuhada, orang-orang yang sholih, ringkasnya ialah orang-orang mu’min dan muslim.
8. Sayanglah engkau kepada Tuhanmu (ya’ni mengikuti jejak nabi saw), takutlah akan pedihnya api neraka, berharaplah akan rohmat Alloh dan bertawakallah kepada Alloh wahai orang Islam.
9. Sayanglah engkau kepada Nabimu, berarti menghidupkan sunah Nabinya, kemudian agungkanlah derajatnya, dan berpanatiklah dengan agamamu selama kau mengerti bahwa perbuatan itu dosa.
Ket. : Kita diperintah mengharap akan rohmat Alloh, berarti kita tidak boleh putus asa, kapan saja, dimana saja dan dengan apapun, karena Alloh Maha Besar RohmatNya.
10. Tuntutlah ilmu Islam, kemudian ajarkan kepada manusia (setelah faham benar), agungkanlah firman Alloh dan bersucilah engkau, maka engkau akan direksa.
صَلِّ الصَّلاَةَ وَزَكِّ مَالَكَ ثُمَّ صُمْ
وَاعْكُقْ وَحُجَّ وَجَاهِدَنَّ فَتُكْرَمُ
رَبِطْ تَـثَبَّتْ اَدِّ خُمْسَ مَغَانِمِّ
حَتَّى يُفَرِّ قَهُ اْلاِمَامُ الْحَاكِمْ
وَاعْتِقْ وَكَفِّرْاَوْفِ بِالْوَ عْدِ اشْكُرَنْ
وَاحْفَظْ لِسَانَكَ ثُمَّ فَرْجَكَ تَغْنَمُ
اَدِّ اْلاَمَانَةَ لاَتُقَاتِلْ مُسْلِمًا
وَاحْذَ رْطَعَامًا ثُمَّ مَالَكَ تَحْرُمُ
وَالزَىَّ مَعْ ظَرْفٍ وَلَهْوًاقَدْنُهِى
اَنْفِقْ بِمَعْرُوْفٍ وَاِلاَّتَأْثَمُ<
11. Bersholatlah engkau, zakatilah hartamu, kemudian berpuasalah, ber’itikaflah dalam masjid, berhajilah (jika mampu) dan berjuanglah engkau maka engkau akan dimuliakan Alloh.
12. Bertahanlah engkau ditempat penjagaan perang bertetaplah engkau didalamnya, berikanlah rampasan perang ( غنيمه ) sebanyak 20%, supaya kepala negara membagikannya liwat musyawarah.
13. Merdekakanlah budak, bayarlah kifarat, tepati janjimu, bersyukurlah engkau kepada Alloh (baik ni’mat yang langsung atau liwat hambanya) jagalah lidahmu, kemudian kemaluanmu juga dijaga dari perbuatan dlolim.
14. Sampaikanlah amanat (titipan), janganlah membunuh orang muslim, takutlah (tinggalkanlah) makanan minuman yang haram, kemudian tinggalkan hartamu yang haram.
15. Jauhilah perhiasan dan tempat yang haram, tinggalkanlah permainan yang dilarang syara’ nafkahkanlah hartamu dengan sebenar-benarnya kalau tidak maka engkau bedosa.
16. Tinggalkanlah dan cegahlah setiap sipat dendam and dengki. Tinggalkan perbuatan yang membuka rahasia bagi orang-orang Islam, maka sematlah engkau
17. Berikhlaslah engkau kepada Tuhanmu dalam segala amal, kemudian merasa gembiralah engkau dalam mengerjakan thoat dan merasa susahlah engkau dalam perbuatan dosa atau ma’shiyat, serta bertaubatlah engkau dan menyesalah.
18. Kerjakanlah Qurban dan aqiqoh serta bagikanlah, manakala engkau mampu. Dan thoatlah kepada pemimpin yang dari golonganmu sendiri, maka engkau tidak berdosa.
19. Berpegang teguhlah engkau wahai kekasihku apa yang dipegangi oleh kebanyakan umat Islam ( سرا دا لا عظم ), Tegakkan hukuman dengan adil dan cegahlah sesuatu yang dianggapmu berdosa
20. Dan perintahkan kebaikan. Bertolong-tolonglah engkau dengan kesungguhan (ikhlas) atas dasar baik (benar) dan taqwa, maka engkau akan dimuliakan Alloh.
اُتْرُكْ وَامْسِكْ كُلَّ غِلٍّ وَالْحَسَدْ
حَرِّم لِعِرْضِ الْمُسْلِمِيْنَ فَتَسْلَمُ
اَخْلِصْ لِرَبِّكَ ثُمَّ سُرِّ بِطَاعَةٍ
وَاحْزَنْ بِسُوْءٍ تُبْ وَانْتَ النَّادِمُ
وَائْتِ الضَّحِيَّةَ وَالْعَقِيْقَةَ وَاهْدِيَنْ
وَاوَ لِى اْلاُمُوْرِاَطِعْهُمْ لاَتَجْرِمُ
اَمْسِكْ حَبِـيْـبِيْ مَاعَلَيْهِ جَمَاعَهْ
وَاحْكُمْ بِعَدْلٍ وَاْنهَ مَا هُوَ مَأْثَمُ
وَأْمُرْبِمَعْرُوْفٍ وَانْتَ اَعِنْهُمْ
جِدًّا عَلى بِرٍّ وَتَقْوى تُكْرَمُ
21. Malulah engkau kepada Alloh, beruat baiklah engkau kepada kedua orang tuamu, sambunglah sanak saudara dan perbaikilah akhlaqmu, maka engkau akan disayang.
22. Berbuat baiklah engkau kepada budakmu (atau pembantu / rewang / buruh) serta maafkanlah kesalahannya dan ajarilah ke Islaman. Patuhnya budak (atau pembantu / rewang / buruh) kepada majikannya adalah wajib.
23. Jagalah kuwajiban terhadap istri dan anak-anak berilah nafkah mereka dan ajarilah mereka keIslaman, karena itu suatu kuwajiban bagi kepala keluarga.
24. Sayanglah engkau kepada ahli agama (umat Islam) jawablah salam mereka, kunjungilah mereka manakala sakit dan sholatilah mereka manakala mati dalam keadaan muslim.
25. Do’akanlah orang Islam yang bersin dengan membaca hamdalah dan jauhilah orang-orang yang berbuat kerusakan (ma’shiyat), maka engkau tidak aniaya.
Ket. : Do’a mendo’akan dalam bersin bagi muslim
Athisin = الحمد لله رب العا لمين
Sami’in = ير حمك الله
Athisin = يهد ىكم الله ويصلح با لكم
وَاسْتَحْيِ رَبَّكَ اَحْسِنَنْ لِلْوَالِدِ
رَحْمًا فَصِلْ حَسِّنْ بِخُلْقِكَ تُرْحَمُ
اَحْسِنْ لِقَـنِّكَ فَاعْفُ عَنْهُ وَعَلِّمَنْ
وَاِطَا عَةُ السَّاَدَاتِ عَبْدًا تَلْزَمُ
وَاحْفَظْ حُقُوْقَ اْلاَهْلِ وَاْلاَوْلاَدِ
اَنْفِقْ وَعَلِّمْهُمْ فَذَاكَ مُحَتَّمُ
وَاحْبُبْ ِلاَهْلِ الَّدِيْنِ رُدَّسَلاَمَهُمْ
عُوْدَنَّ مَرْ ضى صضلِّ مَوْتى اَسْلَمُ
شَمِّتْ لِعَاطِسٍ مُسْلِمٍ حَمِدَ اْلاِلهُ
وَابْعُدْاَخِى عَنْ مَفْسِدٍ لاَتُظَّلَمُ
<
26. Hormatilah tetanggamu, kemudian tamu dan tutupilah aib bagi muslim lainnya maka selamat dan beruntunglah engkau.
Ket : Menghormati tetangga, tamu, saudara nasab, dan orang tua, sekalipun berlainan agama umpamanya, jadi membantu, menolong dan layad sekalipun, masih berkuwajiban selama tidak dilarang oleh Islam.
27. Bershabarlah engkau, berzuhudlah engkau, bercemburulah engkau, berpalinglah engkau dari lagha (atau kema’syihatan) dan bermurah hatilah engkau dala urusan dunia.
28 Hormatilah orang-orang yang lebih tua daripada kita dan sayangilah orang-orang yang lebih muda usianya daripada kita. Ishlahkan lah (atau damaikanlah dua orang yang sedang kontras / selisih) dari orang Islam, maka engkau dimuliakan Alloh.
29. Sayangilah manusia (khususnya muslim) sebagaimana engkau menyayangi akan diri sendiri, sehingga engkau kelak di surga dengan ni’matnya.
Ket : Kita harus bersikap tegas ( ( ا ثداء terhadap orang-orang kafir (munafiq) dan bersikap kasih sayang ( ( رحماءterhadap orang-orang Islam. Itulah sikap para shohabat Nabi saw.
30. Semoga sholawat dan salam kunjuk kepada Nabi besar Muhammad saw, keluarga serta shohabatnya yang dijadikan kerabat atau pamili. ا مين
*****
Segala puji bagi Alloh Tuhan alam semesta
اَكْرِمْ لِجَارٍ ثُمَّ ضَيْفٍ وَاسْتُرَنْ
عَوْرَاتِ اَهْلِ الَّدِيْنِ تَأْ مَنْ تَغْنَمُ
وَاصْبِرْ تَزَهَّدْوَأْ تَيَنَّ بَغِيْرَةٍ
اَعْرِضْ عَنِ الْمَلْغَةِ جُدْ تَتَكَرَّمُ
وَقْرِ كَبِيْرًا وَارْحَمَنَّ صَغِيْرَنَا
اَصْلِحْ لِهَجْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَتُكْرَمُ
وَأحْبُبْ لِنَّاسِ مَا تَحِبُّ لْنَفْسشكَ
حَتىَّ تَكُوْنَ بِجَنَّةٍ تَـتَـنَعَّمُ
ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلىَ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ
وَاْلآلِ وَالصَّحْبِ الَّذِيْنَ يُحَثَّمُ
وَالْحَمْدُ
Sekian semoga bermanfaat, mohon maaf atas segala kekhilafan dalam penulisan, istaghfiru robbakum min qoulim bila 'amalin
Senin, 27 September 2010
Senin, 20 September 2010
KALIMAT HADIS ALKISA
oleh Najiv Alaska pada 02 September 2010
Allah swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu se- suci-sucinya.” (QS. al-Ahzab: 33).
Menurut para ulama bahwa argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat diatas ini ialah sebuah hadits yang dikenal di kalangan para ahli hadits dengan sebutan hadits Al-Kisa`, yang tingkat keshohihan dan kemutawatirannya tidak kalah dengan hadits Tsaqalain. Ayat diatas ini menurut kebanyakan ulama turun kepada Imam Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra] adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadits dan tafsir. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata: “Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.” (Ash-Shawa’iq, hal 143)
Hadits ini terkenal dengan julukan Al-Kisa’ artinya selendang atau selimut, karena Nabi saw. menutupi dirinya beserta empat orang keluarganya dengan selimut tersebut. Nash-nash hadits ini banyak diriwayatkan oleh berbagai sumber dan oleh banyak perawi dengan tekts yang berbeda-beda tapi mempunyai makna yang sama.
Sebagian para mufassirin (ahli tafsir) yang tercantum pada halaman sebelumnya yaitu pengertian/faham kedua mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait dalam surat Al-Ahzab:33 hanyalah: Rasulallah saw., Imam Ali bin Abi Thalib kw., Siti Fathimah Az-Zahra ra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra], dengan berdalil hadits-hadits Al-Kisa’ berikut ini: Al-Hakim telah meriwayatkan didalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain fi al-Hadits:
“Dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Ketika Rasulullah saw. memandang kearah rahmat yang turun, Rasulullah saw. berkata, ‘Panggilkan untukku, panggilkan untukku.’ Shafiyyah bertanya; ‘Siapa, ya Rasulullah’? Rasulullah menjawab; ‘Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain’. Maka mereka pun dihadirkan kehadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw. meletakkan pakaiannya keatas mereka, kemudian Rasulullah saw meng- angkat kedua tangannya dan berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah shalawat kepada Muhamad dan keluarga Muhamad).’ Lalu Allah swt. menurunkan ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya‘ “. (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197–198, dan beliau berkata; ‘Hadits ini shohih sanadnya’.)
Al-Hakim meriwayatkan hadits serupa dari Ummu Salamah yang berkata; “Di rumah saya turun ayat yang berbunyi, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, ‘Mereka inilah Ahlul Baitku’ “. (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197-198, kemudian, al-Hakim berkata, ‘Hadits ini shohih menurut syarat Bukhari’). Di halaman lain al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, “Hadits ini shohih menurut syarat mereka berdua”.
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini di dalam kitab shohih-nya dari Aisyah yang berkata; “Rasulullah saw. pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw. memasuk- kannya kedalam pakaiannya, lalu Husain datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fathimah, dan Rasulullah saw. pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkan- nya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata; ’Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilang kan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Shohih Muslim, bab keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.)
Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab shohih, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab tafsir (Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul-Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jilid 22, hal 5; tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 198 – 199; Shohih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fathimah; Musnad Ahmad, jilid 6, hal 292 – 323.)
Imam Muslim dalam shohih-nya (1V:1883 nr.2424) dari Umar bin Abu Salamah anak tiri Rasulallah saw. sebagaimana dicantumkan dalam At-Turmudzi (V:663). Redaksinya dari beliau dan lain-lainnya dengan isnad shohih. Dia berkata; “Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad saw., ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan, dosa dari kamu hai ahlul-bait dan membersihkan sebersih-bersihnya’ (QS Al-Ahzab:33). Ayat tersebut turun kepada Nabi Muhammad saw. dirumah Ummu Salamah ra. Lalu Nabi Muhammad saw. memanggil Siti Fathimah ra, Hasan dan Husain. Lalu Rasulallah saw. menutupi mereka dengan kiswah (baju,kain) sedang Imam Ali kw. ada dibelakang punggungnya (Nabi). Beliau saw. pun menutupi nya dengan pakaian (kiswah). Kemudian beliau saw. bersabda; ‘Allahumma (Ya Allah), mereka itu ahli-baitku, maka hilangkanlah dosa (kekejian dan kekotoran) dari mereka dan suci- kanlah mereka sesuci-sucinya’ (bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya). Ummu Salamah ra. berkata; ‘Dan (apakah) aku beserta mereka wahai Rasulallah’? Beliau saw. bersabda; ‘Engkau mempunyai tempat tersendiri, dan engkau menuju kepada kebaikan’ “.
Hadits al-Kisa` termasuk hadits yang shohih dan mutawatir, yang tidak ada seorang pun mendhaifkannya, baik dari kalangan Salaf mau pun Khalaf.
Diantara riwayat di dalam bab ini —didalam menentukan siapa Ahlul-Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata; “Di rumahku turun ayat, ‘Se- sungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, ‘Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait’? Rasulullah saw menjawa; ‘Sesungguhnya engkau berada pada kebajik -an, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.’ “. (Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.)
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya disebutkan, Ummu Salamah bertanya; “Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait”? Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih berhak’ “. (Mustadrak al-Hakim, jld 2, hal 416.)
Pada riwayat Imam Ahmad disebutkan; “Saya (ummu Salamah ra) mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah saw. menarik tangan (tidak memasukkan) saya sambil berkata, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan’ “. (Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 – 323.)
Didalam Shohih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim ‘ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah saw mendatangi pintu rumah Fathimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan sholat Subuh dengan berseru; “Salat, wahai Ahlul Bait. ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. (Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jld 3, hal 158).Dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Hadits dari Aisyah ra. katanya: “Pada suatu pagi Nabi saw. keluar dengan berselimut sebuah kain wol berwarna hitam, ketika Hasan putra Ali (abi Thalib) datang, maka beliau memasukkan ia kedalam selimut, demikian pula ketika Husain, Fathimah dan Ali datang, maka beliau memasukkan mereka kedalam selimut, kemudian beliau berkata; ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilang- kan dosa bagi kamu, hai ahli bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ (surat Al-Ahzab :33) ”. (HR. Muslim)
Sedangkan dalam riwayat Tirmidzi disebutkan: “Ketika Allah menurunkan firman-Nya: ‘ …….’ (surat Al-Ahzab:33), dirumah Ummu Salamah (isteri Nabi) maka Nabi memanggil (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, kemudian beliau menutupi mereka dengan sebuah kain selendang sedang (Imam) Ali yang berada dibelakang punggung beliau juga ditutupi dengan kain tersebut, kemudian beliau berdo’a; ‘Ya Allah, mereka adalah ahli baitku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersih- nya’. Ketika Ummu Salamah berkata; ‘Wahai Nabiyullah, aku pun bersama mereka’, maka beliau saw. bersabda; ‘Engkau berada di tempatmu dan engkau dalam kebaikan’ “.
(Ada pula riwayat hadits lain dari Ummu Salamah yang pada waktu terjadi- nya Haditsul Kisa’ ia bertanya pada Rasulallah saw.; Ya Rasulallah, bukankah aku dari mereka juga ? Beliau menjawab; Ya, benar! Tapi hadits ini ber tentangan dengan hadits-hadits Al-Kisa’ dan lainnya yang telah dijelaskan tadi yang lebih kuat dan lebih dipercaya yang dimaksud ahlul-bait, hanya lima orang saja, dan isteri-isteri beliau saw. tidak termasuk didalamnya,)
Riwayat hadits-hadits lainnya yang senada atau semakna hanya berbeda versinya saja dengan hadits terakhir diatas diantaranya yaitu:
Hadits dari Zaid, dari Syahr bin Hausyab ; Hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain yang mengatakan menerima hadits dari Abdus-Salam bin Harb dari Kaltsum Al-Muharibiy berasal dari Abu ‘Ammar ; Hadits dari Waki’ dari Abdulhamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dari Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id Al-Khudry berasal dari Ummu Salamah ra..; Hadits dari Zarbayi dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dan berasal dari Ummu Salamah ra. ; Hadits dari Ibnu Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id berasal dari Ummu Salamah ; Hadits dari Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, berasal dari ‘Abdullah bin Wahab bin zam’ah ; Hadits dari Muhammad bin Sulaiman Al-Ashbahaniy dari Yahya bin ‘Ubaid Al-Makky dari ‘Atha bin Abi Rabbah berasal dari Umar bin Abi Salamah ; Hadits dari Bukair bin Asma dari ‘Amir bin Sa’ad berasal dari Sa’ad ; Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abdulquddus dari Al-A’masy dari Hakim bin Sa’ad berasal dari ‘Ali bin Abi Thali kw. dan masih banyak lagi lainnya.
Menurut jumhur ulama, semuanya ini cukup membuktikan bahwa yang di maksud Ahlul-Bait dalam ayat Al-Ahzab:33 ialah mereka Ash- habul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah partner al-Qur’an, yang kita telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. di dalam hadits Tsaqalain untuk berpegang teguh kepada mereka.
Orang yang mengatakan bahwa ‘itrah itu artinya keluarga, sehingga merubah maknanya, itu tidak dapat diterima! Karena tidak ada seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu Mandzur menukil di dalam kitabnya Lisan al-’Arab: “Sesungguhnya ‘itrah Rasulullah saw. adalah keturunan Fathimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, ‘Di dalam hadits Zaid bin Tsabit yang berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘… …lalu dia menyebut hadits Tsaqalain’. Maka disini Rasulullah menjadi kan ‘itrah-nya sebagai Ahlul Bait’. Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, ‘Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya’. Ibnu Atsir berkata, ‘Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya’. Ibnu A’rabi berkata, ‘Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya’.’ Ibnu A’rabi melanjutkan perkataannya, ‘Maka ‘itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fathimah.’ “ (Lisan al-Arab, jld 9, hal 34) Dari makna-makna ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud Ahlul-Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul-Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya? Zaid bin Arqam menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait Rasulullah saw. ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah saw)”.
Menjadi anggota Ahlul-Bait, tidak pernah diklaim oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan tidak pernah diklaim juga oleh istri-istri beliau saw.. Karena jika tidak demikian, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadits shohih yang menyebutkan bahwa para istri Rasulullah saw. mengakui/ berdalil dengan ayat Al-Ahzab:33 ini.
Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan dhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta’nits (wanita) pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir (lelaki) pada ayat ini. Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. maka tentunya kalimat ayat tersebut berbunyi “Innama Yuridullah Liyudzhiba ‘Ankunnar Rijsa Ahlal Bait wa Yuthahhira kunna Tathhira”. Oleh karena itu, Allah swt. memulai firman-Nya setelah ayat ini, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah….” (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir (Al-Ahzab:33) turun kepada para isteri Rasulullah saw. selain dari Ikrimah dan Muqatil. Perkataan mereka ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat shohih yang dengan jelas mengatakan bahwa Ahlul-Bait itu ialah para ashabul Kisa’, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.. Begitu juga banyak hadits shohih yang mutawatir bertentangan dengan pendapat Ikrimah dan Muqatil.
Dengan keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita bahwa terbanyak pendapt dari para ulama yang di maksud dengan Ahlul-Bait ialah: Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra]. Demikianlah sekilas mengenai hadits al-Kisa’. Demikianlah keterangan para ulama mengenai Ahlul-Bait Rasulallah saw
Allah swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu se- suci-sucinya.” (QS. al-Ahzab: 33).
Menurut para ulama bahwa argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat diatas ini ialah sebuah hadits yang dikenal di kalangan para ahli hadits dengan sebutan hadits Al-Kisa`, yang tingkat keshohihan dan kemutawatirannya tidak kalah dengan hadits Tsaqalain. Ayat diatas ini menurut kebanyakan ulama turun kepada Imam Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra] adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadits dan tafsir. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata: “Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.” (Ash-Shawa’iq, hal 143)
Hadits ini terkenal dengan julukan Al-Kisa’ artinya selendang atau selimut, karena Nabi saw. menutupi dirinya beserta empat orang keluarganya dengan selimut tersebut. Nash-nash hadits ini banyak diriwayatkan oleh berbagai sumber dan oleh banyak perawi dengan tekts yang berbeda-beda tapi mempunyai makna yang sama.
Sebagian para mufassirin (ahli tafsir) yang tercantum pada halaman sebelumnya yaitu pengertian/faham kedua mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait dalam surat Al-Ahzab:33 hanyalah: Rasulallah saw., Imam Ali bin Abi Thalib kw., Siti Fathimah Az-Zahra ra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra], dengan berdalil hadits-hadits Al-Kisa’ berikut ini: Al-Hakim telah meriwayatkan didalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain fi al-Hadits:
“Dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Ketika Rasulullah saw. memandang kearah rahmat yang turun, Rasulullah saw. berkata, ‘Panggilkan untukku, panggilkan untukku.’ Shafiyyah bertanya; ‘Siapa, ya Rasulullah’? Rasulullah menjawab; ‘Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain’. Maka mereka pun dihadirkan kehadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw. meletakkan pakaiannya keatas mereka, kemudian Rasulullah saw meng- angkat kedua tangannya dan berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah shalawat kepada Muhamad dan keluarga Muhamad).’ Lalu Allah swt. menurunkan ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya‘ “. (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197–198, dan beliau berkata; ‘Hadits ini shohih sanadnya’.)
Al-Hakim meriwayatkan hadits serupa dari Ummu Salamah yang berkata; “Di rumah saya turun ayat yang berbunyi, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, ‘Mereka inilah Ahlul Baitku’ “. (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197-198, kemudian, al-Hakim berkata, ‘Hadits ini shohih menurut syarat Bukhari’). Di halaman lain al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, “Hadits ini shohih menurut syarat mereka berdua”.
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini di dalam kitab shohih-nya dari Aisyah yang berkata; “Rasulullah saw. pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw. memasuk- kannya kedalam pakaiannya, lalu Husain datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fathimah, dan Rasulullah saw. pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkan- nya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata; ’Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilang kan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Shohih Muslim, bab keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.)
Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab shohih, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab tafsir (Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul-Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jilid 22, hal 5; tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 198 – 199; Shohih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fathimah; Musnad Ahmad, jilid 6, hal 292 – 323.)
Imam Muslim dalam shohih-nya (1V:1883 nr.2424) dari Umar bin Abu Salamah anak tiri Rasulallah saw. sebagaimana dicantumkan dalam At-Turmudzi (V:663). Redaksinya dari beliau dan lain-lainnya dengan isnad shohih. Dia berkata; “Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad saw., ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan, dosa dari kamu hai ahlul-bait dan membersihkan sebersih-bersihnya’ (QS Al-Ahzab:33). Ayat tersebut turun kepada Nabi Muhammad saw. dirumah Ummu Salamah ra. Lalu Nabi Muhammad saw. memanggil Siti Fathimah ra, Hasan dan Husain. Lalu Rasulallah saw. menutupi mereka dengan kiswah (baju,kain) sedang Imam Ali kw. ada dibelakang punggungnya (Nabi). Beliau saw. pun menutupi nya dengan pakaian (kiswah). Kemudian beliau saw. bersabda; ‘Allahumma (Ya Allah), mereka itu ahli-baitku, maka hilangkanlah dosa (kekejian dan kekotoran) dari mereka dan suci- kanlah mereka sesuci-sucinya’ (bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya). Ummu Salamah ra. berkata; ‘Dan (apakah) aku beserta mereka wahai Rasulallah’? Beliau saw. bersabda; ‘Engkau mempunyai tempat tersendiri, dan engkau menuju kepada kebaikan’ “.
Hadits al-Kisa` termasuk hadits yang shohih dan mutawatir, yang tidak ada seorang pun mendhaifkannya, baik dari kalangan Salaf mau pun Khalaf.
Diantara riwayat di dalam bab ini —didalam menentukan siapa Ahlul-Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata; “Di rumahku turun ayat, ‘Se- sungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, ‘Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait’? Rasulullah saw menjawa; ‘Sesungguhnya engkau berada pada kebajik -an, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.’ “. (Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.)
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya disebutkan, Ummu Salamah bertanya; “Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait”? Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih berhak’ “. (Mustadrak al-Hakim, jld 2, hal 416.)
Pada riwayat Imam Ahmad disebutkan; “Saya (ummu Salamah ra) mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah saw. menarik tangan (tidak memasukkan) saya sambil berkata, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan’ “. (Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 – 323.)
Didalam Shohih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim ‘ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah saw mendatangi pintu rumah Fathimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan sholat Subuh dengan berseru; “Salat, wahai Ahlul Bait. ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. (Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jld 3, hal 158).Dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Hadits dari Aisyah ra. katanya: “Pada suatu pagi Nabi saw. keluar dengan berselimut sebuah kain wol berwarna hitam, ketika Hasan putra Ali (abi Thalib) datang, maka beliau memasukkan ia kedalam selimut, demikian pula ketika Husain, Fathimah dan Ali datang, maka beliau memasukkan mereka kedalam selimut, kemudian beliau berkata; ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilang- kan dosa bagi kamu, hai ahli bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ (surat Al-Ahzab :33) ”. (HR. Muslim)
Sedangkan dalam riwayat Tirmidzi disebutkan: “Ketika Allah menurunkan firman-Nya: ‘ …….’ (surat Al-Ahzab:33), dirumah Ummu Salamah (isteri Nabi) maka Nabi memanggil (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, kemudian beliau menutupi mereka dengan sebuah kain selendang sedang (Imam) Ali yang berada dibelakang punggung beliau juga ditutupi dengan kain tersebut, kemudian beliau berdo’a; ‘Ya Allah, mereka adalah ahli baitku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersih- nya’. Ketika Ummu Salamah berkata; ‘Wahai Nabiyullah, aku pun bersama mereka’, maka beliau saw. bersabda; ‘Engkau berada di tempatmu dan engkau dalam kebaikan’ “.
(Ada pula riwayat hadits lain dari Ummu Salamah yang pada waktu terjadi- nya Haditsul Kisa’ ia bertanya pada Rasulallah saw.; Ya Rasulallah, bukankah aku dari mereka juga ? Beliau menjawab; Ya, benar! Tapi hadits ini ber tentangan dengan hadits-hadits Al-Kisa’ dan lainnya yang telah dijelaskan tadi yang lebih kuat dan lebih dipercaya yang dimaksud ahlul-bait, hanya lima orang saja, dan isteri-isteri beliau saw. tidak termasuk didalamnya,)
Riwayat hadits-hadits lainnya yang senada atau semakna hanya berbeda versinya saja dengan hadits terakhir diatas diantaranya yaitu:
Hadits dari Zaid, dari Syahr bin Hausyab ; Hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain yang mengatakan menerima hadits dari Abdus-Salam bin Harb dari Kaltsum Al-Muharibiy berasal dari Abu ‘Ammar ; Hadits dari Waki’ dari Abdulhamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dari Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id Al-Khudry berasal dari Ummu Salamah ra..; Hadits dari Zarbayi dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dan berasal dari Ummu Salamah ra. ; Hadits dari Ibnu Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id berasal dari Ummu Salamah ; Hadits dari Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, berasal dari ‘Abdullah bin Wahab bin zam’ah ; Hadits dari Muhammad bin Sulaiman Al-Ashbahaniy dari Yahya bin ‘Ubaid Al-Makky dari ‘Atha bin Abi Rabbah berasal dari Umar bin Abi Salamah ; Hadits dari Bukair bin Asma dari ‘Amir bin Sa’ad berasal dari Sa’ad ; Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abdulquddus dari Al-A’masy dari Hakim bin Sa’ad berasal dari ‘Ali bin Abi Thali kw. dan masih banyak lagi lainnya.
Menurut jumhur ulama, semuanya ini cukup membuktikan bahwa yang di maksud Ahlul-Bait dalam ayat Al-Ahzab:33 ialah mereka Ash- habul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah partner al-Qur’an, yang kita telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. di dalam hadits Tsaqalain untuk berpegang teguh kepada mereka.
Orang yang mengatakan bahwa ‘itrah itu artinya keluarga, sehingga merubah maknanya, itu tidak dapat diterima! Karena tidak ada seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu Mandzur menukil di dalam kitabnya Lisan al-’Arab: “Sesungguhnya ‘itrah Rasulullah saw. adalah keturunan Fathimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, ‘Di dalam hadits Zaid bin Tsabit yang berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘… …lalu dia menyebut hadits Tsaqalain’. Maka disini Rasulullah menjadi kan ‘itrah-nya sebagai Ahlul Bait’. Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, ‘Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya’. Ibnu Atsir berkata, ‘Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya’. Ibnu A’rabi berkata, ‘Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya’.’ Ibnu A’rabi melanjutkan perkataannya, ‘Maka ‘itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fathimah.’ “ (Lisan al-Arab, jld 9, hal 34) Dari makna-makna ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud Ahlul-Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul-Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya? Zaid bin Arqam menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait Rasulullah saw. ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah saw)”.
Menjadi anggota Ahlul-Bait, tidak pernah diklaim oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan tidak pernah diklaim juga oleh istri-istri beliau saw.. Karena jika tidak demikian, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadits shohih yang menyebutkan bahwa para istri Rasulullah saw. mengakui/ berdalil dengan ayat Al-Ahzab:33 ini.
Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan dhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta’nits (wanita) pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir (lelaki) pada ayat ini. Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. maka tentunya kalimat ayat tersebut berbunyi “Innama Yuridullah Liyudzhiba ‘Ankunnar Rijsa Ahlal Bait wa Yuthahhira kunna Tathhira”. Oleh karena itu, Allah swt. memulai firman-Nya setelah ayat ini, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah….” (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir (Al-Ahzab:33) turun kepada para isteri Rasulullah saw. selain dari Ikrimah dan Muqatil. Perkataan mereka ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat shohih yang dengan jelas mengatakan bahwa Ahlul-Bait itu ialah para ashabul Kisa’, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.. Begitu juga banyak hadits shohih yang mutawatir bertentangan dengan pendapat Ikrimah dan Muqatil.
Dengan keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita bahwa terbanyak pendapt dari para ulama yang di maksud dengan Ahlul-Bait ialah: Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra]. Demikianlah sekilas mengenai hadits al-Kisa’. Demikianlah keterangan para ulama mengenai Ahlul-Bait Rasulallah saw
Hadits Tqalain (dua bekal berat)
Hadits Tqalain (dua bekal berat):
oleh Najiv Alaska pada 04 September 2010
Kita hanya sering mendengar dimasjid-masjid atau tempat lainnya tentang hadits Rasulallah saw. agar kita memegang dua bekal yaitu: ‘Kitabullah wa sunnati’ artinya (berpegang) Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. atau hadits lainnya yaitu: ‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu’. Tetapi belum pernah atau jarang sekali di kumandangkan dan dikenal oleh kaum muslimin hadits Nabi saw. agar kita memegang dua bekal: ‘Kitabullah dan Itrah-ku (keturunan-ku) Ahlu baitku’.
Padahal hadits ‘Kitabullah wa Sunnati’ diatas ini ,menurut ulama, sanadnya masih diperselisihkan oleh para ulama, begitu juga bukan termasuk hadits tsaqalain. Kami akan kutip masalah ini dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. dari halaman 269, oleh Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf, Jordania yang diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qasim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah, Bandung, sebagai berikut:
[ Syeikh Saggaf pernah ditanya mengenai hadits, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah berpegang teguh kepada keduanya; Kitabullah dan …’. Apakah hadits itu tersebut shohih jika ditambah dengan kata-kata (pada akhir hadits) ’ ‘ithraty wa ahli baitii ’ (keluargaku yaitu ahli baitku) . Atau mungkin yang benar, ‘wa sunnati ‘ (dan sunnahku)? Orang ini berharap agar dapat menjelaskan sanad hadits tersebut.
Syeikh Sagqaf menjawab: Sebenarnya sanad hadits yang tsabit dan shohih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity. Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi matan dan sanad-nya. Berikut ini sebagian/garis besar penjelasan mengenai sanad dua hadits.
Hadits yang shohih diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya ( IV : 1873 nr.2408 cet.Abdulbaqy) dari Zaid bin Arqam ra yang katanya: “Suatu hari Rasulallah saw. pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah disuatu tempat (kebun) kosong diantara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu menasihati dan mengingatkan (ummatnya) dengan sabdanya: ‘Amma ba’du (adapun sesudah itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku (yang akan memanggilku ke hadhrat-Nya), maka aku pun (pasti) mengabulkannya. Dan aku (akan ) meninggalkan pada kalian dua pusaka. Pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambil lah kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh. Beliau saw. memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau saw. bersabda: ‘Dan (yang kedua)ahli baitku (keluargaku)“.
Itulah lafadh atau redaksi dari Imam Muslim, dan diantara perawi lainnya me- riwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah; Al-Darimy dalam Sunan-nya (II:431-432) dengan isnad shohih dan ada lagi perawi lainnya yang me- riwayatkan seperti redaksi Imam Muslim itu.
Sedangkan dalam riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata Wa ‘ithraty ahli-baity (Dan keturunanku yaitu ahli baitku [keluarga rumahku] ). Dalam Sunan Turmudzi (V:663 nr. 3788) menyebutkan: “Rasulallah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang (erat-erat) pasti kalian tidak akan sesat sesudah aku (wafat). Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia merupakan tali yang memanjang dari langit kebumi. Dan keturunanku (yaitu) ahli-baitku. Kedua-duanya (dua pusaka) tidak akan berpisah sehingga kembali/bertemu dengan aku di Haudh (telaga di surga). Perhatikanlah (berhati-hati lah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukan mereka sepeninggalku’ “. Hadits shohih. (silahkan baca halaman selanjutnya mengenai hadits tsaqalain—pen.)
Sedangkan kalimat hadits ‘wa sunnati’ (dan sunnah-ku), Syeikh Saqqaf tidak meragukan ke-maudhu’-annya karena kelemahan sanad- nya, dan factor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya. Berikut ini isnad dan matan hadits tersebut:
Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits (Kitabullah wa sunnah Rasulallah) ini dalam kitabnya Al-Mustadrak (I : 93) dengan isnadnya dari jalan Ibn Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang diantara isinya sebagai berikut: ‘ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad saw.) telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selama- nya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya…..’.
Dalam sanad hadits itu terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (III:127), mengenai biografi Al-Ibn yakni Ibn Abi Uwais dan saya (Al-Mizzi) akan mengutip perkataan orang yang mencelanya, “Berkata Mu’awiyah bin Shalih dari Yahya bin Mu’in, ‘Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dhoif (lemah), dan dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (Mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadits)’ “.
Tetapi menurut Abu Hatim, “Ibn Abu Uwais itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah [dilengahkan/dibiarkan orang (mughaffa)]”.
Imam Nasa’i menilai: “Dia dhoif/lemah, dan dia tidak tsiqah”. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’i; “Imam Nasa’i sangat jelek menilainya sampai kederajat matruk (Ibn Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”.
Menurut komentar Abu Ahmad bin ‘Adi; “Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (yakni) Malik berupa beberapa hadits gharib yang tidak di ikuti oleh seorang pun (dari periwayat lain yakni tidak ada mutaba’ah-nya)”.
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al Bari halaman 391 Dar Al-Ma’rifah mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan; “Atas dasar itu hadits dia tidak dapat dipakai hujjah/dalil selain yang terdapat dalam Ash-Sahih, karena celaan yang dilakukan oleh Imam Nasa’i dan lain-lainnya”.
Al-Hafidz Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq dalam Fath Al-Mulk Al-Ali halaman 15 mengatakan; “Berkata Salamah bin Syabib, saya pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan, ‘Mungkin saya (Ismail bin Abi Uwais) membuat hadits (adha’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka ber selisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka’ “.
Jadi dia Ibn Abi Uwais dituduh suka membuat hadits (maudhu’) dan Ibn Mu’in menilainya sebagai pembohong. Dan haditsnya yang mengandung kalimat ..wa sunnati tidak terdapat dalam salah satu dari Shohihain !!
Adapun mengenai ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, sebagaimana disebutkan dalam kitab anaknya Al-Jarh wa At-Ta’dil (V:92), “Ditulis haditsnya, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah, dan dia tidak kuat”. Dalam sumber yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil tersebut ; ‘Abu Uwais itu tidak tsiqah’.
Menurut Syeikh Saqqaf, sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah disebutkan diatas itu tidak dapat menjadi shohih, kecuali jika ada unta yang dapat masuk ke lubang jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa apa yang mereka bawa dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit/kuat dan shohih. Al-Hakim sendiri telah mengakui ke-dhaif-an hadits tersebut, sehingga dia tidak menshohihkannya dalam Al-Mustadrak tersebut. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tersebut. Kami telah membuktikan bahwa Ibn Abi Uwais dan ayahnya sungguh-sungguh, salah satu diantara keduanya telah mencuri (membuat) hadits yang sedang kita bahas itu. Dan, dengan tegas, Ibn Mu’in menilai bahwa kedua orang tersebut suka mencuri (membuat) hadits, (sehingga haditsnya disebut maudhu’, di buat-buat).
Al-Hakim meriwayatkan (I:93) hadits itu, dia berkata: “Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut dari hadits Abu Hurairah ra., kemudian diriwayatkan dengan sanadnya melalui (jalan) Al-Dhaby: Tsana (telah menghaditskan kepada kami) Shalih bin Musa At-Thalhy dari Abdul ‘Aziz bin Rafi’ dari Abu Sholih dari Abu Hurairah ra secara marfu’ (Rasulallah saw. bersabda): ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah keduanya. Kitbullah dan Sunnah-ku. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya mendatangkan/mengembalikan (bertemu) kepadaku di Haudh’ “.
Menurut saya (pengarang), hadits ini juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Shalih bin Musa At-Thalhy. Berikut ini penilaian para imam pakar hadits dari kalangan kibar al-huffazh (penghafal terkenal) yang mencela Shalih bin Musa Ath-Thalhy sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahdzib Al-Kamal XIII : 96: ‘Berkata Yahya bin Mu’in, Laisa bi-syai’in (riwayat hadits tersebut tidak ada apa-apanya)’. Abu Hatim Ar-Razy berkata : ‘Dhaif Al-Hadits (Hadits itu lemah)’.
Dia sangat mengingkari hadits dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah. Menurut penilaian Imam Nasa’i , haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan lain Imam Nasa’i berkata : ‘Dia itu matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan)‘.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Tahdzib At-Tahdzib IV:355 menyebut kan; “Ibn Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari Tsiqat apa yang tidak menyerupai hadits itsbat (yang kuat), sehingga yang men- dengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk ber-hujjah. Abu Nu’aim berkata: ‘Dia itu matruk al-hadits sering meriwayatkan (hadits-hadits) munkar’ “.
Al-Hafidh dalam At-Taqrib juga menghukuminya sebagai rawi matruk /perawi yang harus ditinggalkan (Tarjamah : 2891). Demikian pula Al-Dzahaby dalam Al-Kasyif : 2412 yang menyebutkan bahwa dia wahin (lemah). Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan II:302, hadits Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemungkaran yang dilakukannya.
Al-Hafidh Ibn Abdilbar dalam At-Tamhid XXIV:331 menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits dhaif tersebut: “Dan telah menghadits- kan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Al-Haniny dari Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Awf, dari ayahnya, dari kakeknya (mengenai hadits tersebt) “ .
Terdapat dalam sanad hadits tersebut yaitu Katsir bin Abdullah, Imam Syafi’i berkata: ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu punggung kebohongan’. Sedangkan menurut Abu Dawud; ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu pembohong’.
Ibn Hibban berkata: “Dia (Katsir bin Abdullah) meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (tekts) yang maudhu’ yang tidak halal atau tidak pantes untuk dicantumkan dalam berbagai kitab dan tidak perlu di riwayatkan kecuali untuk ta’ajjub (aneh karena keberaniannya dalam berbohong)
Imam Nasa’i dan Al-Daraquthni, berkata Dia (Katsir bin Abdullah) matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan orang).
Imam Ahmad berkata: ‘Dia itu pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa‘. Demikian pula menurut penilaian Yahya bin Mu’in bahwa ‘Dia (Katsir bin Abdullah) tidak (bukan) apa-apa (tidak berarti) ’.
Imam Malik menyebutkan hadits tersebut dalam Al-Muwathha’ (I : 899 nr.3) tanpa menyebutkan sanad. Tetapi hal ini bukan suatu soal, karena mengenai kelemahannya hadits itu sangat jelas.
Selanjutnya Syeikh Saqgaf berkata, bahwa Al-Hafidh Ibn Hajar –rahima hullah ta’ala– dalam At-Tagrib menilainya (hadits itu) sebagai dhoif/lemah saja, kemudian dia (Ibn Hajar) berkata: ‘Sungguh berlebihan jika ada orang yang menuduhnya sebagai pembohong’. Menurut saya (Syeikh Saqgaf), hal itu sama sekali tidak salah dan tidak berlebihan. Karena, seperti terlihat dari penilaian para imam dan pakar hadits, dia memang pendusta. Bukankah Al-Dzahaby juga telah menilai dia (dalam Al-Kasyif) sebagai wahin (lemah). Dan memang dia demikian, haditsnya maudhu’ (dibuat-buat), hadits itu tidak cocok untuk di ikuti (mutaba’ah) dan tidak perlu dicarikan syahid (saksi penguatnya). Bahkan harus dijauhi. Allah lah yang memberi taufik kepada kita semua.
Begitu juga menurut Mutanaqidh penentang atau sang kontroversial dalam Dha’ifatih (IV:361), hadits shohih dan tsabit yang menyebutkan ‘Wa ‘itrati ahli baiti’ (dan keturunanku yaitu ahli baitku), menjadi syahid (saksi) atas (kebenaran dan keshohihan) hadits yang mengandung wa sunnati (dan sunnahku). Yang demikian itu menurut Syeikh Saqqaf termasuk layak untuk ditertawakan. Hanya Allah yang memberi hidayah kepada kita semua.
Selanjutnya Syeikh Saqqaf mengatakan, bahwa sabda Rasulallah saw. ‘Itrati Ahli Baiti’ (Keturunankau [yaitu] ahli baitku atau keluargaku), maksudnya adalah isteri-isterinya, keturunannya (dzurriyyahnya) dan yang paling ter kemuka adalah Siti Fathimah, Sayyidina ‘Ali semoga Allah memuliakannya di surga , Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain a.s. dan semoga mereka mendapat keridhaan-Nya. Dalilnya ialah (baca yang telah kami kemukakan diatas—pen.).
Dengan penjelasan yang telah dikemukakan, jelaslah bahwa hadits, Kitabullah wa ‘Itrati (Kitabullah Alqur’an dan keturunanku) adalah hadits shohih dan tsabit yang terdapat dalam Shohih Muslim dan lain-lainnya. Dan kalimat hadits Kitabullah wa Sunnati (Kitab Allah dan Sunnahku) itu bathil dari sisi sanad dan tidak shohih. Maka, saya (Syeikh Saqqaf) menganjurkan kepada para khatib, imam dan muballigh untuk segera meninggalkan pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw..
Dan, hendaklah mereka ini juga tidak segan-segan untuk mengungkapkan hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. yang terdapat dalam Shohih Muslim yang antara lain menyebutkan ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa ahli baiti’. Kami pun berpesan kepada para penuntut ilmu (santri dan pelajar pada umumnya) untuk mempelajari ilmu hadits. Dan hendaklah mereka juga mau menyediakan waktu untuk mengenali hadits yang shohih dan dho’if sekaligus. Allah swt. menfirmankan yang hak dan benar. Dia menunjuki manusia dan makhluk-Nya kejalan yang lurus dan benar. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. ] Demikianlah jawaban dan keterangan Syeikh Saqqaf.
oleh Najiv Alaska pada 04 September 2010
Kita hanya sering mendengar dimasjid-masjid atau tempat lainnya tentang hadits Rasulallah saw. agar kita memegang dua bekal yaitu: ‘Kitabullah wa sunnati’ artinya (berpegang) Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. atau hadits lainnya yaitu: ‘Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu’. Tetapi belum pernah atau jarang sekali di kumandangkan dan dikenal oleh kaum muslimin hadits Nabi saw. agar kita memegang dua bekal: ‘Kitabullah dan Itrah-ku (keturunan-ku) Ahlu baitku’.
Padahal hadits ‘Kitabullah wa Sunnati’ diatas ini ,menurut ulama, sanadnya masih diperselisihkan oleh para ulama, begitu juga bukan termasuk hadits tsaqalain. Kami akan kutip masalah ini dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. dari halaman 269, oleh Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf, Jordania yang diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qasim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah, Bandung, sebagai berikut:
[ Syeikh Saggaf pernah ditanya mengenai hadits, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah berpegang teguh kepada keduanya; Kitabullah dan …’. Apakah hadits itu tersebut shohih jika ditambah dengan kata-kata (pada akhir hadits) ’ ‘ithraty wa ahli baitii ’ (keluargaku yaitu ahli baitku) . Atau mungkin yang benar, ‘wa sunnati ‘ (dan sunnahku)? Orang ini berharap agar dapat menjelaskan sanad hadits tersebut.
Syeikh Sagqaf menjawab: Sebenarnya sanad hadits yang tsabit dan shohih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity. Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi matan dan sanad-nya. Berikut ini sebagian/garis besar penjelasan mengenai sanad dua hadits.
Hadits yang shohih diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya ( IV : 1873 nr.2408 cet.Abdulbaqy) dari Zaid bin Arqam ra yang katanya: “Suatu hari Rasulallah saw. pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah disuatu tempat (kebun) kosong diantara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu menasihati dan mengingatkan (ummatnya) dengan sabdanya: ‘Amma ba’du (adapun sesudah itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku (yang akan memanggilku ke hadhrat-Nya), maka aku pun (pasti) mengabulkannya. Dan aku (akan ) meninggalkan pada kalian dua pusaka. Pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambil lah kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh. Beliau saw. memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau saw. bersabda: ‘Dan (yang kedua)ahli baitku (keluargaku)“.
Itulah lafadh atau redaksi dari Imam Muslim, dan diantara perawi lainnya me- riwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah; Al-Darimy dalam Sunan-nya (II:431-432) dengan isnad shohih dan ada lagi perawi lainnya yang me- riwayatkan seperti redaksi Imam Muslim itu.
Sedangkan dalam riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata Wa ‘ithraty ahli-baity (Dan keturunanku yaitu ahli baitku [keluarga rumahku] ). Dalam Sunan Turmudzi (V:663 nr. 3788) menyebutkan: “Rasulallah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang (erat-erat) pasti kalian tidak akan sesat sesudah aku (wafat). Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia merupakan tali yang memanjang dari langit kebumi. Dan keturunanku (yaitu) ahli-baitku. Kedua-duanya (dua pusaka) tidak akan berpisah sehingga kembali/bertemu dengan aku di Haudh (telaga di surga). Perhatikanlah (berhati-hati lah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukan mereka sepeninggalku’ “. Hadits shohih. (silahkan baca halaman selanjutnya mengenai hadits tsaqalain—pen.)
Sedangkan kalimat hadits ‘wa sunnati’ (dan sunnah-ku), Syeikh Saqqaf tidak meragukan ke-maudhu’-annya karena kelemahan sanad- nya, dan factor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya. Berikut ini isnad dan matan hadits tersebut:
Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits (Kitabullah wa sunnah Rasulallah) ini dalam kitabnya Al-Mustadrak (I : 93) dengan isnadnya dari jalan Ibn Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang diantara isinya sebagai berikut: ‘ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad saw.) telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selama- nya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya…..’.
Dalam sanad hadits itu terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (III:127), mengenai biografi Al-Ibn yakni Ibn Abi Uwais dan saya (Al-Mizzi) akan mengutip perkataan orang yang mencelanya, “Berkata Mu’awiyah bin Shalih dari Yahya bin Mu’in, ‘Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dhoif (lemah), dan dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (Mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa (dalam hadits)’ “.
Tetapi menurut Abu Hatim, “Ibn Abu Uwais itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah [dilengahkan/dibiarkan orang (mughaffa)]”.
Imam Nasa’i menilai: “Dia dhoif/lemah, dan dia tidak tsiqah”. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’i; “Imam Nasa’i sangat jelek menilainya sampai kederajat matruk (Ibn Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”.
Menurut komentar Abu Ahmad bin ‘Adi; “Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (yakni) Malik berupa beberapa hadits gharib yang tidak di ikuti oleh seorang pun (dari periwayat lain yakni tidak ada mutaba’ah-nya)”.
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al Bari halaman 391 Dar Al-Ma’rifah mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan; “Atas dasar itu hadits dia tidak dapat dipakai hujjah/dalil selain yang terdapat dalam Ash-Sahih, karena celaan yang dilakukan oleh Imam Nasa’i dan lain-lainnya”.
Al-Hafidz Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq dalam Fath Al-Mulk Al-Ali halaman 15 mengatakan; “Berkata Salamah bin Syabib, saya pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan, ‘Mungkin saya (Ismail bin Abi Uwais) membuat hadits (adha’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka ber selisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka’ “.
Jadi dia Ibn Abi Uwais dituduh suka membuat hadits (maudhu’) dan Ibn Mu’in menilainya sebagai pembohong. Dan haditsnya yang mengandung kalimat ..wa sunnati tidak terdapat dalam salah satu dari Shohihain !!
Adapun mengenai ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, sebagaimana disebutkan dalam kitab anaknya Al-Jarh wa At-Ta’dil (V:92), “Ditulis haditsnya, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah, dan dia tidak kuat”. Dalam sumber yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil tersebut ; ‘Abu Uwais itu tidak tsiqah’.
Menurut Syeikh Saqqaf, sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah disebutkan diatas itu tidak dapat menjadi shohih, kecuali jika ada unta yang dapat masuk ke lubang jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa apa yang mereka bawa dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit/kuat dan shohih. Al-Hakim sendiri telah mengakui ke-dhaif-an hadits tersebut, sehingga dia tidak menshohihkannya dalam Al-Mustadrak tersebut. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tersebut. Kami telah membuktikan bahwa Ibn Abi Uwais dan ayahnya sungguh-sungguh, salah satu diantara keduanya telah mencuri (membuat) hadits yang sedang kita bahas itu. Dan, dengan tegas, Ibn Mu’in menilai bahwa kedua orang tersebut suka mencuri (membuat) hadits, (sehingga haditsnya disebut maudhu’, di buat-buat).
Al-Hakim meriwayatkan (I:93) hadits itu, dia berkata: “Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadits tersebut dari hadits Abu Hurairah ra., kemudian diriwayatkan dengan sanadnya melalui (jalan) Al-Dhaby: Tsana (telah menghaditskan kepada kami) Shalih bin Musa At-Thalhy dari Abdul ‘Aziz bin Rafi’ dari Abu Sholih dari Abu Hurairah ra secara marfu’ (Rasulallah saw. bersabda): ‘Sesungguhnya aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah keduanya. Kitbullah dan Sunnah-ku. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya mendatangkan/mengembalikan (bertemu) kepadaku di Haudh’ “.
Menurut saya (pengarang), hadits ini juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Shalih bin Musa At-Thalhy. Berikut ini penilaian para imam pakar hadits dari kalangan kibar al-huffazh (penghafal terkenal) yang mencela Shalih bin Musa Ath-Thalhy sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahdzib Al-Kamal XIII : 96: ‘Berkata Yahya bin Mu’in, Laisa bi-syai’in (riwayat hadits tersebut tidak ada apa-apanya)’. Abu Hatim Ar-Razy berkata : ‘Dhaif Al-Hadits (Hadits itu lemah)’.
Dia sangat mengingkari hadits dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah. Menurut penilaian Imam Nasa’i , haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan lain Imam Nasa’i berkata : ‘Dia itu matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan)‘.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Tahdzib At-Tahdzib IV:355 menyebut kan; “Ibn Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari Tsiqat apa yang tidak menyerupai hadits itsbat (yang kuat), sehingga yang men- dengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk ber-hujjah. Abu Nu’aim berkata: ‘Dia itu matruk al-hadits sering meriwayatkan (hadits-hadits) munkar’ “.
Al-Hafidh dalam At-Taqrib juga menghukuminya sebagai rawi matruk /perawi yang harus ditinggalkan (Tarjamah : 2891). Demikian pula Al-Dzahaby dalam Al-Kasyif : 2412 yang menyebutkan bahwa dia wahin (lemah). Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan II:302, hadits Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemungkaran yang dilakukannya.
Al-Hafidh Ibn Abdilbar dalam At-Tamhid XXIV:331 menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits dhaif tersebut: “Dan telah menghadits- kan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, telah menghaditskan kepada kami Al-Haniny dari Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Awf, dari ayahnya, dari kakeknya (mengenai hadits tersebt) “ .
Terdapat dalam sanad hadits tersebut yaitu Katsir bin Abdullah, Imam Syafi’i berkata: ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu punggung kebohongan’. Sedangkan menurut Abu Dawud; ‘Dia (Katsir bin Abdullah) adalah salah satu pembohong’.
Ibn Hibban berkata: “Dia (Katsir bin Abdullah) meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (tekts) yang maudhu’ yang tidak halal atau tidak pantes untuk dicantumkan dalam berbagai kitab dan tidak perlu di riwayatkan kecuali untuk ta’ajjub (aneh karena keberaniannya dalam berbohong)
Imam Nasa’i dan Al-Daraquthni, berkata Dia (Katsir bin Abdullah) matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan orang).
Imam Ahmad berkata: ‘Dia itu pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa‘. Demikian pula menurut penilaian Yahya bin Mu’in bahwa ‘Dia (Katsir bin Abdullah) tidak (bukan) apa-apa (tidak berarti) ’.
Imam Malik menyebutkan hadits tersebut dalam Al-Muwathha’ (I : 899 nr.3) tanpa menyebutkan sanad. Tetapi hal ini bukan suatu soal, karena mengenai kelemahannya hadits itu sangat jelas.
Selanjutnya Syeikh Saqgaf berkata, bahwa Al-Hafidh Ibn Hajar –rahima hullah ta’ala– dalam At-Tagrib menilainya (hadits itu) sebagai dhoif/lemah saja, kemudian dia (Ibn Hajar) berkata: ‘Sungguh berlebihan jika ada orang yang menuduhnya sebagai pembohong’. Menurut saya (Syeikh Saqgaf), hal itu sama sekali tidak salah dan tidak berlebihan. Karena, seperti terlihat dari penilaian para imam dan pakar hadits, dia memang pendusta. Bukankah Al-Dzahaby juga telah menilai dia (dalam Al-Kasyif) sebagai wahin (lemah). Dan memang dia demikian, haditsnya maudhu’ (dibuat-buat), hadits itu tidak cocok untuk di ikuti (mutaba’ah) dan tidak perlu dicarikan syahid (saksi penguatnya). Bahkan harus dijauhi. Allah lah yang memberi taufik kepada kita semua.
Begitu juga menurut Mutanaqidh penentang atau sang kontroversial dalam Dha’ifatih (IV:361), hadits shohih dan tsabit yang menyebutkan ‘Wa ‘itrati ahli baiti’ (dan keturunanku yaitu ahli baitku), menjadi syahid (saksi) atas (kebenaran dan keshohihan) hadits yang mengandung wa sunnati (dan sunnahku). Yang demikian itu menurut Syeikh Saqqaf termasuk layak untuk ditertawakan. Hanya Allah yang memberi hidayah kepada kita semua.
Selanjutnya Syeikh Saqqaf mengatakan, bahwa sabda Rasulallah saw. ‘Itrati Ahli Baiti’ (Keturunankau [yaitu] ahli baitku atau keluargaku), maksudnya adalah isteri-isterinya, keturunannya (dzurriyyahnya) dan yang paling ter kemuka adalah Siti Fathimah, Sayyidina ‘Ali semoga Allah memuliakannya di surga , Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain a.s. dan semoga mereka mendapat keridhaan-Nya. Dalilnya ialah (baca yang telah kami kemukakan diatas—pen.).
Dengan penjelasan yang telah dikemukakan, jelaslah bahwa hadits, Kitabullah wa ‘Itrati (Kitabullah Alqur’an dan keturunanku) adalah hadits shohih dan tsabit yang terdapat dalam Shohih Muslim dan lain-lainnya. Dan kalimat hadits Kitabullah wa Sunnati (Kitab Allah dan Sunnahku) itu bathil dari sisi sanad dan tidak shohih. Maka, saya (Syeikh Saqqaf) menganjurkan kepada para khatib, imam dan muballigh untuk segera meninggalkan pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw..
Dan, hendaklah mereka ini juga tidak segan-segan untuk mengungkapkan hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. yang terdapat dalam Shohih Muslim yang antara lain menyebutkan ‘Kitabullah wa ‘Itrati ahli baiti atau wa ahli baiti’. Kami pun berpesan kepada para penuntut ilmu (santri dan pelajar pada umumnya) untuk mempelajari ilmu hadits. Dan hendaklah mereka juga mau menyediakan waktu untuk mengenali hadits yang shohih dan dho’if sekaligus. Allah swt. menfirmankan yang hak dan benar. Dia menunjuki manusia dan makhluk-Nya kejalan yang lurus dan benar. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. ] Demikianlah jawaban dan keterangan Syeikh Saqqaf.
Menggapai Bening Hati
Keberuntungan memiliki hati yang bersih, sepatutnya membuat diri kita berpikir keras setiap hari menjadikan kebeningan hati ini menjadi aset utama untuk menggapai kesuksesan dunia dan akhirat kita. Subhanallaah, betapa kemudahan dan keindahan hidup akan senantiasa meliputi diri orang yang berhati bening ini. Karena itu mulai detik ini bulatkanlah tekad untuk bisa menggapainya, susun pula program nyata untuk mencapainya. Diantara program yang bisa kita lakukan untuk menggapai hidup indah dan prestatif dengan bening hati adalah :
1. Ilmu Carilah terus ilmu tentang hati, keutamaan kebeningan hati, kerugian kebusukan hati, bagaimana perilaku dan tabiat hati, serta bagaimana untuk mensucikannya. Diantara ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah dengan cara mendatangi majelis taklim, membeli buku-buku yang mengkaji tentang kebeningan hati, mendengarkan ceramah-ceramah berkaitan dengan ilmu hati, baik dari kaset maupun langsung dari nara sumbernya. Dan juga dengan cara berguru langsung kepada orang yang sudah memahami ilmu hati ini dengan benar dan ia mempraktekannya dalam kehidupan sehari-harinya. Harap dimaklumi, ilmu hati yang disampaikan oleh orang yang sudah menjalaninya akan memiliki kekuatan ruhiah besar dalam mempengaruhi orang yang menuntut ilmu kepadanya. Oleh karenanya, carilah ulama yang dengan gigih mengamalkan ilmu hati ini.
2. Riyadhah atau Melatih Diri Seperti kata pepatah, “alah bisa karena biasa”. Seseorang mampu melakukan sesuatu dengan optimal salah satunya karena terlatih atau terbiasa melakukannya. Begitu pula upaya dalam membersihkan hati ini, ternyata akan mampu dilakukan dengan optimal jikalau kita terus-menerus melakukan riyadhah (latihan). Adapun bentuk latihan diri yang dapat kita lakukan untuk menggapai bening hati ini adalah
Menilai kekurangan atau keburukan diri. Patut diketahui bahwa bagaimana mungkin kita akan mengubah diri kalau kita tidak tahu apa-apa yang harus kita ubah, bagaimana mungkin kita memperbaiki diri kalau kita tidak tahu apa yang harus diperbaiki. Maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah dengan bersungguh-sungguh untuk belajar jujur mengenal diri sendiri, dengan cara
Memiliki waktu khusus untuk tafakur. Setiap ba’da shalat kita harus mulai berpikir; saya ini sombong atau tidak? Apakah saya ini riya atau tidak? Apakah saya ini orangnya takabur atau tidak? Apakah saya ini pendengki atau bukan? Belajarlah sekuat tenaga untuk mengetahui diri ini sebenarnya. Kalau perlu buat catatan khusus tentang kekurangan-kekurangan diri kita, (tentu saja tidak perlu kita beberkan pada orang lain). Ketahuilah bahwa kejujuran pada diri ini merupakan modal yang teramat penting sebagai langkah awal kita untuk memperbaiki diri kita ini
Memiliki partner. Kawan sejati yang memiliki komitmen untuk saling mengkoreksi semata-mata untuk kebaikan bersama yang memiliki komitmen untuk saling mewangikan, mengharumkan, memajukan, dan diantaranya menjadi cermin bagi satu yang lainnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tentu saja dengan niat dan cara yang benar, jangan sampai malah saling membeberkan aib yang akhirnya terjerumus pada fitnah. Partner ini bisa istri, suami, adik, kakak, atau kawan-kawan lain yang memiliki tekad yang sama untuk mensucikan diri. Buatlah prosedur yang baik, jadwal berkala, sehingga selain mendapatkan masukan yang berharga tentang diri ini dari partner kita, kita juga bisa menikmati proses ini secara wajar.
Manfaatkan orang yang tidak menyukai kita. Mengapa? Tiada lain karena orang yang membenci kita ternyata memiliki kesungguhan yang lebih dibanding orang yang lain dalam menilai, memperhatikan, mengamati, khususnya dalam hal kekurangan diri. Hadapi mereka dengan kepala dingin, tenang, tanpa sikap yang berlebihan. Anggaplah mereka sebagai aset karunia Allah yang perlu kita optimalkan keberadannya. Karenanya, jadikan apapun yang mereka katakan, apapun yang mereka lakukan, menjadi bahan perenungan, bahan untuk ditafakuri, bahan untuk dimaafkan, dan bahan untuk berlapang hati dengan membalasnya justru oleh aneka kebaikan. Sungguh tidak pernah rugi orang lain berbuat jelek kepada diri kita. Kerugian adalah ketika kita berbuat kejelekkan kepada orang lan.
Tafakuri kejadian yang ada di sekitar kita.Kejadian di negara, tingkah polah para pengelola negara, akhlak pipmpinan negara, atau tokoh apapun dan siapa pun di negeri ini. Begitu banyak yang dapat kita pelajari dan tafakuri dari mereka, baik dalam hal kebaikan ataupun kejelekkan/kesalahan (tentu untuk kita hindari kejelekkan/kesalahan serupa). Selain itu, dari orang-orang yang ada di sekitar kita, seperti teman, tetangga, atau tamu, yang mereka itu merupakan bahan untuk ditafakuri. Mana yang menyentuh hati, kita menaruh rasa hormat, kagum, kepada mereka. Mana yang akan melukai hati, mendera perasaan, mencabik qalbu, karena itu juga bisa jadi bahan contoh, bahan perhatian, lalu tanyalah pada diri kita, mirip yang mana? Tidak usah kita mencemooh orang lain, tapi tafakuri perilaku orang lain tersebut dan cocokkan dengan keadaan kita. Ubahlah sesuatu yang dianggap melukai, seperti yang kita rasakan, kepada sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang dianggap mengagumkan, kepada perilaku kita spereti yang kita kagumi tersebut. Mudah-mudahan dengan riyadhah tahap awal ini kita mulai mengenal, siapa sebenarnya diri kita?
1. Ilmu Carilah terus ilmu tentang hati, keutamaan kebeningan hati, kerugian kebusukan hati, bagaimana perilaku dan tabiat hati, serta bagaimana untuk mensucikannya. Diantara ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah dengan cara mendatangi majelis taklim, membeli buku-buku yang mengkaji tentang kebeningan hati, mendengarkan ceramah-ceramah berkaitan dengan ilmu hati, baik dari kaset maupun langsung dari nara sumbernya. Dan juga dengan cara berguru langsung kepada orang yang sudah memahami ilmu hati ini dengan benar dan ia mempraktekannya dalam kehidupan sehari-harinya. Harap dimaklumi, ilmu hati yang disampaikan oleh orang yang sudah menjalaninya akan memiliki kekuatan ruhiah besar dalam mempengaruhi orang yang menuntut ilmu kepadanya. Oleh karenanya, carilah ulama yang dengan gigih mengamalkan ilmu hati ini.
2. Riyadhah atau Melatih Diri Seperti kata pepatah, “alah bisa karena biasa”. Seseorang mampu melakukan sesuatu dengan optimal salah satunya karena terlatih atau terbiasa melakukannya. Begitu pula upaya dalam membersihkan hati ini, ternyata akan mampu dilakukan dengan optimal jikalau kita terus-menerus melakukan riyadhah (latihan). Adapun bentuk latihan diri yang dapat kita lakukan untuk menggapai bening hati ini adalah
Menilai kekurangan atau keburukan diri. Patut diketahui bahwa bagaimana mungkin kita akan mengubah diri kalau kita tidak tahu apa-apa yang harus kita ubah, bagaimana mungkin kita memperbaiki diri kalau kita tidak tahu apa yang harus diperbaiki. Maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah dengan bersungguh-sungguh untuk belajar jujur mengenal diri sendiri, dengan cara
Memiliki waktu khusus untuk tafakur. Setiap ba’da shalat kita harus mulai berpikir; saya ini sombong atau tidak? Apakah saya ini riya atau tidak? Apakah saya ini orangnya takabur atau tidak? Apakah saya ini pendengki atau bukan? Belajarlah sekuat tenaga untuk mengetahui diri ini sebenarnya. Kalau perlu buat catatan khusus tentang kekurangan-kekurangan diri kita, (tentu saja tidak perlu kita beberkan pada orang lain). Ketahuilah bahwa kejujuran pada diri ini merupakan modal yang teramat penting sebagai langkah awal kita untuk memperbaiki diri kita ini
Memiliki partner. Kawan sejati yang memiliki komitmen untuk saling mengkoreksi semata-mata untuk kebaikan bersama yang memiliki komitmen untuk saling mewangikan, mengharumkan, memajukan, dan diantaranya menjadi cermin bagi satu yang lainnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tentu saja dengan niat dan cara yang benar, jangan sampai malah saling membeberkan aib yang akhirnya terjerumus pada fitnah. Partner ini bisa istri, suami, adik, kakak, atau kawan-kawan lain yang memiliki tekad yang sama untuk mensucikan diri. Buatlah prosedur yang baik, jadwal berkala, sehingga selain mendapatkan masukan yang berharga tentang diri ini dari partner kita, kita juga bisa menikmati proses ini secara wajar.
Manfaatkan orang yang tidak menyukai kita. Mengapa? Tiada lain karena orang yang membenci kita ternyata memiliki kesungguhan yang lebih dibanding orang yang lain dalam menilai, memperhatikan, mengamati, khususnya dalam hal kekurangan diri. Hadapi mereka dengan kepala dingin, tenang, tanpa sikap yang berlebihan. Anggaplah mereka sebagai aset karunia Allah yang perlu kita optimalkan keberadannya. Karenanya, jadikan apapun yang mereka katakan, apapun yang mereka lakukan, menjadi bahan perenungan, bahan untuk ditafakuri, bahan untuk dimaafkan, dan bahan untuk berlapang hati dengan membalasnya justru oleh aneka kebaikan. Sungguh tidak pernah rugi orang lain berbuat jelek kepada diri kita. Kerugian adalah ketika kita berbuat kejelekkan kepada orang lan.
Tafakuri kejadian yang ada di sekitar kita.Kejadian di negara, tingkah polah para pengelola negara, akhlak pipmpinan negara, atau tokoh apapun dan siapa pun di negeri ini. Begitu banyak yang dapat kita pelajari dan tafakuri dari mereka, baik dalam hal kebaikan ataupun kejelekkan/kesalahan (tentu untuk kita hindari kejelekkan/kesalahan serupa). Selain itu, dari orang-orang yang ada di sekitar kita, seperti teman, tetangga, atau tamu, yang mereka itu merupakan bahan untuk ditafakuri. Mana yang menyentuh hati, kita menaruh rasa hormat, kagum, kepada mereka. Mana yang akan melukai hati, mendera perasaan, mencabik qalbu, karena itu juga bisa jadi bahan contoh, bahan perhatian, lalu tanyalah pada diri kita, mirip yang mana? Tidak usah kita mencemooh orang lain, tapi tafakuri perilaku orang lain tersebut dan cocokkan dengan keadaan kita. Ubahlah sesuatu yang dianggap melukai, seperti yang kita rasakan, kepada sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang dianggap mengagumkan, kepada perilaku kita spereti yang kita kagumi tersebut. Mudah-mudahan dengan riyadhah tahap awal ini kita mulai mengenal, siapa sebenarnya diri kita?
Selasa, 14 September 2010
BID'AH
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw... Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memper- ingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi'in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid'ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: "Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. 'Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti 'Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : "Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat 'Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar 'Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada 'Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : "Bidáh".
'Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga 'Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid'ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid'ah itu bid'ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Sekian dan semoga bermanfaat, mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw... Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memper- ingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi'in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid'ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: "Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. 'Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti 'Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : "Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat 'Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar 'Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada 'Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : "Bidáh".
'Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga 'Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid'ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid'ah itu bid'ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Sekian dan semoga bermanfaat, mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan
PENGERTIAN BID'AH
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat...” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid'ah, maka hukumya haram, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. 'Aisyah ra, Khalifah 'Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid'ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
'Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau ber- dalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubiy rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah di perjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017--red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang di maksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sekian semoga bermanfaat, apa bila ada kekhilafan/ kesalahan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat...” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid'ah, maka hukumya haram, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. 'Aisyah ra, Khalifah 'Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid'ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
'Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau ber- dalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubiy rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah di perjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017--red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang di maksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sekian semoga bermanfaat, apa bila ada kekhilafan/ kesalahan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya
Kamis, 02 September 2010
BAKTI KEPADA IBU BAPAK
Selain seorang nabi, Sulaiman a.s. juga seorang raja terkenal. Atas izin Allah ia berhasil menundukkan Ratu Balqis dengan jin ifrit-Nya. Dia dikenal sebagai manusia boleh berdialog dengan segala binatang. Dikisahkan, Nabi Sulaiman sedang berkelana antara langit dan bumi hingga tiba di satu samudera yang bergelombang besar. Untuk mencegah gelombang, ia cukup memerintahkan angin agar tenang, dan tenang pula samudera itu.Kemudian Nabi Sulaiman memerintahkan jin Ifrit menyelam ke samudera itu sampai ke dasarnya. DI sana jin Ifrit melihat sebuah kubah dari permata putih yang tanpa lubang, kubah itu diangkatnya ke atas samudera dan ditunjukkannya kepada Nabi Sulaiman.
Melihat kubah tanpa lubang penuh permata dari dasar laut itu Nabi Sulaiman menjadi terlalu hairan, "Kubah apakah gerangan ini?" fikirnya. Dengan minta pertolongan Allah, Nabi Sulaiman membuka tutup kubah. Betapa terkejutnya dia begitu melihat seorang pemuda tinggal di dalamnya."Sipakah engkau ini? Kelompok jin atau manusia?" tanya Nabi Sulaiman kehairanan."Aku adalah manusia", jawab pemuda itu perlahan."Bagaimana engkau boleh memperolehi karomah semacam ini?" tanya Nabi Sulaiman lagi. Kemudian pemuda itu menceritakan riwayatnya sampai kemudian memperolehi karomah dari Allah boleh tinggal di dalam kubah dan berada di dasar lautan.
Diceritakan, ibunya dulu sudah tua dan tidak berdaya sehingga dialah yang memapah dan menggendongnya ke mana jua dia pergi. Si anak selalu berbakti kepada orang tuanya, dan ibunya selalu mendoakan anaknya. Salah satu doanya itu, ibunya selalu mendoakan anaknya diberi rezeki dan perasaan puas diri. Semoga anaknya ditempatkan di suatu tempat yang tidak di dunia dan tidak pula di langit."Setelah ibuku wafat aku berkeliling di atas pantai. Dalam perjalanan aku melihat sebuah terbuat dari permata. Aku mendekatinya dan terbukalah pintu kubah itu sehingga aku masuk ke dalamnya." Tutur pemuda itu kepada Nabi Sulaiman.
Nabi Sulaiman yang dikenali boleh berjalan di antara bumi dan langit itu menjadi kagum terhadap pemuda itu."Bagaimana engkau boleh hidup di dalam kubah di dasar lautan itu?" tanya Nabi Sulaiman ingin mengetahui lebih lanjut."Di dalam kubah itu sendiri, aku tidak tahu di mana berada. Di langitkah atau di udara, tetapi Allah tetap memberi rezeki kepadaku ketika aku tinggal di dalam kubah.""Bagaimana Allah memberi makan kepadamu?""Jika aku merasa lapar, Allah menciptakan pohon di dalam kubah, dan buahnya yang aku makan. Jika aku merasa haus maka keluarlah air yang teramat bersih, lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu."
"Bagaimana engkau mengetahui perbedaan siang dan malam?" tanya Nabi Sulaiman a.s yang merasa semakin hairan."Bila telah terbit fajar, maka kubah itu menjadi putih, dari situ aku mengetahui kalau hari itu sudah siang. Bila matahari terbenam kubah akan menjadi gelap dan aku mengetahui hari sudah malam." Tuturnya. Selesai menceritakan kisahnya, pemuda itu lalu berdoa kepada Allah, maka pintu kubah itu tertutup kembali, dan pemuda itu tetap tinggal di dalamnya. Itulah keromah bagi seorang pemuda yang berbakti kepada kedua orang tuanya.
Melihat kubah tanpa lubang penuh permata dari dasar laut itu Nabi Sulaiman menjadi terlalu hairan, "Kubah apakah gerangan ini?" fikirnya. Dengan minta pertolongan Allah, Nabi Sulaiman membuka tutup kubah. Betapa terkejutnya dia begitu melihat seorang pemuda tinggal di dalamnya."Sipakah engkau ini? Kelompok jin atau manusia?" tanya Nabi Sulaiman kehairanan."Aku adalah manusia", jawab pemuda itu perlahan."Bagaimana engkau boleh memperolehi karomah semacam ini?" tanya Nabi Sulaiman lagi. Kemudian pemuda itu menceritakan riwayatnya sampai kemudian memperolehi karomah dari Allah boleh tinggal di dalam kubah dan berada di dasar lautan.
Diceritakan, ibunya dulu sudah tua dan tidak berdaya sehingga dialah yang memapah dan menggendongnya ke mana jua dia pergi. Si anak selalu berbakti kepada orang tuanya, dan ibunya selalu mendoakan anaknya. Salah satu doanya itu, ibunya selalu mendoakan anaknya diberi rezeki dan perasaan puas diri. Semoga anaknya ditempatkan di suatu tempat yang tidak di dunia dan tidak pula di langit."Setelah ibuku wafat aku berkeliling di atas pantai. Dalam perjalanan aku melihat sebuah terbuat dari permata. Aku mendekatinya dan terbukalah pintu kubah itu sehingga aku masuk ke dalamnya." Tutur pemuda itu kepada Nabi Sulaiman.
Nabi Sulaiman yang dikenali boleh berjalan di antara bumi dan langit itu menjadi kagum terhadap pemuda itu."Bagaimana engkau boleh hidup di dalam kubah di dasar lautan itu?" tanya Nabi Sulaiman ingin mengetahui lebih lanjut."Di dalam kubah itu sendiri, aku tidak tahu di mana berada. Di langitkah atau di udara, tetapi Allah tetap memberi rezeki kepadaku ketika aku tinggal di dalam kubah.""Bagaimana Allah memberi makan kepadamu?""Jika aku merasa lapar, Allah menciptakan pohon di dalam kubah, dan buahnya yang aku makan. Jika aku merasa haus maka keluarlah air yang teramat bersih, lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu."
"Bagaimana engkau mengetahui perbedaan siang dan malam?" tanya Nabi Sulaiman a.s yang merasa semakin hairan."Bila telah terbit fajar, maka kubah itu menjadi putih, dari situ aku mengetahui kalau hari itu sudah siang. Bila matahari terbenam kubah akan menjadi gelap dan aku mengetahui hari sudah malam." Tuturnya. Selesai menceritakan kisahnya, pemuda itu lalu berdoa kepada Allah, maka pintu kubah itu tertutup kembali, dan pemuda itu tetap tinggal di dalamnya. Itulah keromah bagi seorang pemuda yang berbakti kepada kedua orang tuanya.
KENAPA AHLUL BAIT TIDAK BOLEH MENERIMA ZAKAT
Alfaqir ingin mengutip sedikit lagi pendapat ulama tentang kalimat hadits yang berbunyi semua (ahlul-bait) diharamkan menerima sedekah atau zakat. Memang pada dasarnya –menurut hadits– semua keturunan ahlul-bait Rasul Allah saw. termasuk disini orang-orang Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib ( yang lazim disebut kaum sayyid atau kaum syarif) diharamkan menerima sedekah atau zakat dalam bentuk apa pun juga, tapi mereka di beri hak untuk memperoleh bagian dari harta ghanimah atau dari harta kekayaan umum (Baitul-Mal). Mereka boleh menerima bagian dari harta warisan atau harta wakaf dengan syarat bunyi kalimat wasiat atau wakaf tersebut jelas dan tegas sebagai hak mereka ini.
Akan tetapi dalam zaman kita sekarang ini tidak ada lagi ghanimah dan tidak ada pula atau jarang sekali dana Baitul-Mal sebagai- mana yang dahulu pernah terjadi pada zaman pertumbuhan Islam. Dengan terjadinya perkembangan ini maka sebagai akibatnya para keturunan Ahlulbait Rasulallah saw. yang hidup kekurangan tidak dapat menerima tunjangan yang oleh syari’at telah ditetapkan sebagai hak mereka. Dalam keadaan seperti itu apakah oleh syari’at mereka sekarang ini diperkenankan menerima zakat dari orang-orang kaya untuk meringankan beban penghidupan sehari-hari ?
Menurut Imam Syafi’i, dalam keadaan bagaimana pun juga mereka tidak boleh atau haram menerima shadaqah atau zakat. Akan tetapi menurut Imam Al-Qady Abu Sa’id Al-Hurawi, para keturunan ahlul bait yang dalam keadaan seperti diatas itu diperbolehkan menerima shadaqah atau zakat asal benar-benar mereka itu tidak mungkin lagi dapat memperoleh haknya dari bagian harta ghanimah (rampasan perang) atau Baitul Mal. Demikian pula fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Muhammad bin Muhammad bin Yahya dan Imam Fakruddin Ar-Razi dan dibenarkan juga oleh Abu Syakil. Dalam kitabnya yang berjudul “Al-Khadim’ Abu Syakil setelah meng- utarakan pendapat Ar-Rafi’i masalah tersebut, ia pun mengemukakan pendapat Imam Al-Ashthakhri, Al-Hurawi dan Ibn Yahya, yang semuanya memperbolehkan keturunan ahlulbait menerima shadaqah atau zakat, jika mereka benar-benar tidak mungkin lagi mem- peroleh hak-haknya dari harta ghanimah atau jarahan perang.
Abu Hafsh An-Narsami mengatakan, shadaqah atau zakat boleh diberikan kepada orang-orang yang menurut syari’at berhak memperoleh bagian dari harta ghanimah. Dan masih banyak lagi pendapat para ulama yang serupa diatas diantaranya Syarif Abul ‘Abbas Al-Fara dalam kitabnya Mu’tamadut Tanbih; Ibnun-Nahwi dalam kitabnya Al-‘Ajaalah dan lain-lain. Demikianlah keterangan singkat dari para ulama mengapa sekarang keturunan Rasulallah saw. mau menerima zakat dan sedekah.
Allah swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu se- suci-sucinya.” (QS. al-Ahzab: 33)
Akan tetapi dalam zaman kita sekarang ini tidak ada lagi ghanimah dan tidak ada pula atau jarang sekali dana Baitul-Mal sebagai- mana yang dahulu pernah terjadi pada zaman pertumbuhan Islam. Dengan terjadinya perkembangan ini maka sebagai akibatnya para keturunan Ahlulbait Rasulallah saw. yang hidup kekurangan tidak dapat menerima tunjangan yang oleh syari’at telah ditetapkan sebagai hak mereka. Dalam keadaan seperti itu apakah oleh syari’at mereka sekarang ini diperkenankan menerima zakat dari orang-orang kaya untuk meringankan beban penghidupan sehari-hari ?
Menurut Imam Syafi’i, dalam keadaan bagaimana pun juga mereka tidak boleh atau haram menerima shadaqah atau zakat. Akan tetapi menurut Imam Al-Qady Abu Sa’id Al-Hurawi, para keturunan ahlul bait yang dalam keadaan seperti diatas itu diperbolehkan menerima shadaqah atau zakat asal benar-benar mereka itu tidak mungkin lagi dapat memperoleh haknya dari bagian harta ghanimah (rampasan perang) atau Baitul Mal. Demikian pula fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Muhammad bin Muhammad bin Yahya dan Imam Fakruddin Ar-Razi dan dibenarkan juga oleh Abu Syakil. Dalam kitabnya yang berjudul “Al-Khadim’ Abu Syakil setelah meng- utarakan pendapat Ar-Rafi’i masalah tersebut, ia pun mengemukakan pendapat Imam Al-Ashthakhri, Al-Hurawi dan Ibn Yahya, yang semuanya memperbolehkan keturunan ahlulbait menerima shadaqah atau zakat, jika mereka benar-benar tidak mungkin lagi mem- peroleh hak-haknya dari harta ghanimah atau jarahan perang.
Abu Hafsh An-Narsami mengatakan, shadaqah atau zakat boleh diberikan kepada orang-orang yang menurut syari’at berhak memperoleh bagian dari harta ghanimah. Dan masih banyak lagi pendapat para ulama yang serupa diatas diantaranya Syarif Abul ‘Abbas Al-Fara dalam kitabnya Mu’tamadut Tanbih; Ibnun-Nahwi dalam kitabnya Al-‘Ajaalah dan lain-lain. Demikianlah keterangan singkat dari para ulama mengapa sekarang keturunan Rasulallah saw. mau menerima zakat dan sedekah.
Allah swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu se- suci-sucinya.” (QS. al-Ahzab: 33)
Langganan:
Postingan (Atom)