Kamis, 21 Maret 2013

Amalan yang tertolak


الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَبَعْدُ

Asslamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
 
‘an ummil mukminiina ummi ‘abdillah ‘aaisyah radhiyallahu ‘anha qoolat : qoola Rasulullah sholla allahu ‘alaihi wa sallam : man ahdatsa fii amrinaa hadhaa maa laisa minhu fahuwa raaddun. (rowahu al bukhori wa muslim). Wa fii riwaayatin limuslimin : man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raaddun.
Artinya : Ummul Mukminin, Ummu Abdillah ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ”Barang siapa membuat-buat dalam urusan (agama) kami ini amalan yang bukan bagian darinya, ia tertolak.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang bukan berdasar perintah kami, ia tertolak.”

Jadi anda tidak perlu mengikuti apalah itu namanya, sholat yang menggunakan terjemah, masak semisal demilian, “saya niat sholat magrib tiga rokaat fardlu karena Allah, Allah Maha Besar.” Nabi tidaklah pernah mengajarkan demikian, Nabi hanya bersabda: Shollu kamaa roaitumuuni usholli. Yang artinya: sholatlah kalian seperti apa aku melaksanakannya. Nabi mencontohkan bagaimana sholat  itu sekaligus dengan bacaannya, jadi janganlah kita mengubah atau menciptakan sendiri gerakan atau bacaan di dalam sholat, ya mungkin ada juga ulama yang berpendapat diperbolehkan berdo’a disujud yang terahir, tepi pendapat demikian adalah lemah sanadnya.

Jadi sepintar apapun seseorang, tidak boleh mengubah apa yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya, kecuali dalam hal keseharian, oh iya saya jadi teringat, ada suatu golongan yang suka berdakwah dengan mengembara, hehehehe….. mengikuti sunnah rasul katanya, mereka meninggalkan keluarga, anak dan istri untuk berdakwah, dengan membawa kompor, alat makan dan sebagainya. 

Pada suatu hari bertemu dengan seorang Kyai di suatu daerah di Jawa Timur, tetapi dia (sang pengembara) tidak tahu kalau yang diceramahi adalah seorang kyai, dengan panjang lebar dia mengutarakan tujuan dia mengembara, bla bla bla bla yang intinya mengikuti sunnah rasul katanya, dan Kyai tersebut bertanya kepadanya,” apa rasulullah makan menggunakan sendok, dan memasak menggunakan kompor?,” sang pengembara kebingungan menjawab, dan kyai tersebut menambahkan lagi,” rasulullah pergi hanya untuk berdakwah, berperang, dengan satu tujuan, lillahi ta’ala. Beliau tidak menerlantarkan anak dan istrinya, beliau makan dengan tiga jari, karena yang beliau makan adalah kurma dan roti, masak orang makan nasi pakai tiga jari, sampean saja makan memakai sendok, katanya mengikuti sunnah rasul?, rasulullah tidak naik mobil, tidak memakai hp, dan panjang lah pokoknya. Jadi kalau sampaian mau mengikuti sunnah rasul, cari tahu bagaimana rasulullah tidur, cara istinjaknya, makan saat lapar dan berhenti sebelum kenyang dan seterusnya… .”

Dan setelah itu sang pengembara dan teman-tennya tidak lagi pernah mendatangi daerah tersebut, nah intinya dari cerita di atas, yakni kita jangan mudah mengaku menjalankan sunnah rasul, sedikit-sedikit sunnah rasul, sunnah rasul, akan tetapi bertujuan materi, yang sebaiknya kita ucapkan adalah ittiba’ birrosul (mengikuti rosul), missal makan dan minum dengan memakai tangan kanan dan tidak lupa membaca do’a, berjihad di jalan Allah, tentunya dengan tata  dan caranya yang  telah dicontohkan oleh Rasullullah, meski tidak dengan cara yang sama persis, karena sudah berbeda zaman dan tempatnya.

Jadi, anda tidak perlu ragu lagi untuk melaksanakan apa yang membawa terhadap sesuatu yang baik dan benar disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulnya, apalagi hal tersebut sudah menjadi adat dilingkungan tempat anda tinggal, yang tidak boleh adalah melestarikan adat yang salah, semisal membawa makanan dan sesajen di bawah pohon besar, makam keramat dan sebagainya, karena itu sama halnya dengan kita mencari berkah terhadap sesuatu tersebut. Sudah jelas bahwasanya tidak ada yang dapat memberi berkah dan menimbulkan madhorot selain Allah  Subhanahu wa Ta’ala, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan kemusyrikan, na’udhu billahi min dzalik.

Yang intinya kita dalam melaksanakan segala jenis ibadah, memang harus ada tendensinya, akan tetapi tidaklah harus berupa dalil dalam Al Qur an atau Al – Hadits untuk menguatkan terhadap ibadah apa yang akan kita kerjakan, bersholawat itu ibadah, tetapi tidak ada hadits atau dalil yang menyebutkan berapa jumlah yang harus kita baca saat kita membaca sholawat. Bergaul dengan istri itu ibadah, tetapi tidak ada hadits atau dalil yang menyebutkan agar berapa kali dalam sehari, satu minggu, atau berapa mungkin, untuk kita melakukannya. Jadi yang menjadi tolok ukur kita dalam beribadah adalah niatan yang baik dan semata karena Allah itulah yang terbaik, dan tentunya dengan cara yang baik dan benar pula ikhwani, tidak usah memperdulikan orang yang gembar-gembor ini bid’ah ituuu bid’ah, memangnya ada apa yang sekarang ini 100% tidak bid’ah, tinggal kita menyikapinya bagaimana, asal bid’ah tersebut hasanah dan tidak merugikan orang lain, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan ganjaran kebaikan kok kepada kita.

“Innamal a’malu binniyah” segala sesuatu itu tergantung niatnya. Marilah kita dasari akan setiap suatu perkara yang akan kita kerjakan dengan niyat yang baik guna mandapat ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita kuatkan pondasi keimanan dan landasan aqidah dengan benar dimulai dari pribadi dan sanak family sejak dini. Kiranya sampai disini yang dapat saya sampaikan, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan, karena kesempurnaan dan kebaikan hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Ihdinash shiraathal mustaqiim, astaghfirullaha min qoulin bilaa ‘amalin, ilalliqo’ ma’as salamah.
 
Wasslamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh